Agus Sunyoto Sebut Pesantren Tak Pernah Menyerah Melawan Penjajah
Jakarta, Rumah Baca Orid
Sejarawan Nahdlatul Ulama KH Ng Agus Sunyoto mengatakan bahwa pada masa penjajahan, perlawanan pesantren terhadap Belanda tidak pernah menyerah, sekalipun selalu kalah. Menurutnya, karena pesantren didukung orang desa dan petani yang tidak terlatih militer.
Demikian kata Kiai Agus Sunyoto saat menjadi pembicara pada acara Silaturrahim Kebudayaan yang diselenggarakan Lesbumi di lantai 8, Gedung PBNU, Jakarta Pusat, seperti dilansir NU Online, Jumat 28 Juli 2017 lalu.
Pesantren menemukan momentum dalam membangun kekuatan setelah Jepang datang dengan memberikan pelatihan militer modern. Pada 3 Oktober 1943, Jepang membentuk tentara sukarela PETA yang berjumlah 69 batalion.
“3 batalion di Bali, dan 66 batalion di Jawa. Dari 66 batalion di jawa, seluruh komandan battalion itu muslim. Dari 66 batalion, 20 batalion komandannya kiai haji,” terangnya.
Gus Mus: para Guru, Pengurus NU, dan GP Ansor Harus Ihklas dalam Mengabdi
Ia mencontohkan nama-nama kiai yang menjadi komandan batalion. Seperti KH. Sam’un yang menjadi komandan batalion Banten. Begitu juga Rais Syuriah Kabupaten Malang Kiai Istandar Sulaiman menjadi komandan batalion Malang.
“Di situlah nanti bulan November 1944 Jepang membikin satuan laskar hizbullah 500 orang kader dari pesantren dididik di Cibarusah Bogor selama 3 bulan,” ungkapnya.
Disitulah, katanya, kemudian terbentuk hizbullah yang nantinya menjadi BKR dan TKR yang mendominasi dua kelompok dari PETA dan Hizbullah.
Itu sebabnya, lanjutnya, ketika 5 oktober diumumkan pembentukan tentara keamanan rakyat, tanggal 10 oktober sudah diumumkan bahwa TKR memiliki kekuatan 10 divisi.
Satu divisi memiliki 10 ribu pasukan, artinya punya 100 ribu pasukan. 10 divisi tersebut dipimpin oleh orang-orang yang bergelar kiai.
Ketika muncul konflik dan Belanda mau kembali melalui Inggris, muncul resolusi jihad yang merupakan fatwa dari pendiri NU KH Hasyim Asy’ari untuk membela negara Indonesia hasil proklamasi. Siapapun tidak berani mengingkarinya karena fatwa tersebut keluar dari pendiri NU.
“Dan orang NU paling takut kualat karena itu apapun yang terjadi dengan bangsa Indonesia, NU selalu di belakang,” pungkasnya. (Va)