Maksum


Oleh: Sri Subekti Wahyuningrum (*)

Setelah semalam suntuk terkunci dari luar, Maksum ditemukan mati terkapar di ranjang reyot berukuran 120x200 cm. Jenazahnya yang kurus mengeluarkan aroma tidak sedap. Aroma itu berasal dari tahi manusia yang berceceran di sekitar ranjangnya. Terlihat bekas popok teronggok membentuk gunungan tinggi. Terdapat muring – spesies agas mengerumuni sisa makanan dan gelas kosong berisikan ampas. Wajah pucatnya seakan menunjukkan bahwa sisa hidup ia kesepian dan merana. Tak tahu pasti kronologi terkunci hingga nahas Turi – Ibu kandung Maksum – orang pertama yang menemukannya terbujur kaku dini hari tadi. Bak pemain ebeg terkena indang, Turi meraung-raung histeris sambil melempari apa saja yang ada disekitarnya. Perbuatannya sontak mengundang kaki berduyun-duyun datang membawa kekhawatiran yang membumbung tinggi.

Rumah yang jarang mengakrabkan diri itu, kini, ramai didatangi warga dusun. Mereka yang melihat Turi tersungkur di lantai sambil terisak-isak membopongnya ke ruang tamu di samping kamar Maksum tengah berada. Pak Kayim menyusul masuk hendak menunaikan tugasnya untuk menalkin dan mendo’akan. Ritual yang bertolak belakang dengan simbol salib yang terpajang di dinding kamarnya. Bukankah itu mengartikan akidah Maksum sebagai umat kristiani? Tapi orang-orang acuh hingga tak mengindahkan. Warga dusun itu hanya mengenal Maksum sebatas pemuda yang tidak menjalankan ibadah selebihnya menganut agama apa menjadi urusan pribadi. Namun seorang warga yang turut menyaksikan peristiwa itu berkomentar, “ kok ditalqin?”

“Agamanya gak jelas, Ji. Cari aman.”

“Lah itu simbol apa? Jelas begitu kok.” Terangnya sambil menunjuk krusifiks yang menarik atensi banyak pasang mata.

Tiba-tiba suara ayam berkerunyuk memberi sinyal fajar mulai terang. Orang-orang memilih mengakhiri kerunyaman dan memulai persiapan pemakaman. Terlebih bukan sikap bijak mempermasalahkan agama mayit di situasi genting semacam ini.

Lamat mengamati, kematian Maksum tidak riuh tangis kesedihan keluarga yang ditinggalkan. Turi yang semula menangis kedapatan diam sembari melamun. Kedua orang itu, Delon dan Anggun, anak-anak Maksum pun tidak menampakkan duka. Serasa mereka telah tabah dengan segala perkara yang menimpa. Sebab sejak lama keluarga Maksum dipandang sebagai manusia terselubung rumor; dari seorang bandit, lintah darat, perusak rumah tangga, sampai gosip keluarga cabo yang tidak jelas nasab anak-anaknya. Tak luput rumor perkawinan Maksum dengan Unang, perempuan yang ditemuinya pada saat di kota perantauan itu tidak sukses, dan sempat mempunyai tiga anak. Beredar kabar istrinya direbut orang dan Maksum ditinggalkan. Kandas rumah tangga kembali terulang pada perkawinan keduanya yang masih seumur jagung. Beredar kabar istrinya minggat ke negeri seberang lantaran Maksum pengangguran.

“Sekarang di rumah aja, Sum?”

“Pemulihan.”

“Anak istri ya diboyong?”

“Gak, minggat. Mau cari deket desa sini aja.”

“Pengobatannya?”

“Operasi kemarin, sekarang ya gini gak ada tenaga. Allah Tuhan Yesus lagi ngehukum aku!”

Pemakaman Maksum telah rampung tanpa masalah berarti, orang-orang bubar membawa pertanyaan-pertanyaan yang tak terjawab dan mengendap di kepala. Simpang siur kematian Maksum menjadi buah bibir warga dusun. Dugaan kematian yang disengaja hanya ada di benak mereka dan tak berani terucapkan. Namun seorang gadis dusun itu tanpa tedeng aling-aling bertanya, “meninggal di kamar posisi kekunci dari luar? Apa gak mencurigakan?”

“Sssttt! Jangan ngomong asal, Tun.”

“Kali aja pembunuhan.”

“Tun, mau ngegosip ya pelanin suara.”

“Ck.. Anak-anaknya aja pada aneh. Bapaknya mati kagak nangis sama sekali.”

 “Gak nangis bukan berarti gak merasa kehilangan. Jangan menormalisasi kudu nangis di hari kematian seseorang.”

“Gimana gak berprasangka jelek wong ya keluarganya kontroversi semua.”

“Baru rumor, gak banyak saksi mata.” Lantaran itu pula orang-orang mudah membuat spekulasi apa saja terkait kebobrokan Maksum dan keluarganya.

Maksum, kini hanya sebuah nama yang lambat laun terkubur zaman. Semasa muda adalah pria gagah yang diam-diam menjadi primadona gadis desa. Ia memiliki paras rupawan, kulit cokelat, dan postur tubuh yang proposional hasil dari pekerjaannya sebagai tukang bangunan. Tuah fisik demikian tak ayal mengundang kedengkian pria lain seusianya. Banyak cinta kandas lantaran sang tambatan hati gemar melakukan perbandingan bibit ketimbang melihat bebet maupun bobot.

“Sum.. Maksum, terus aja gak klamben terus pamer-pamer dada begitu! Gimana janda dusun pada gak meleng tiap hari disodorin begituan. Sampean sengaja? Menikmati? Jann wong.. wong. ” Maksum hanya menyeringai.

“Walah gak ngandel!”

*Perempuan kelahiran 2002 ini tinggal dan besar di desa Merden, Jawa Tengah. Sekarang ini ia disibukkan dengan kegiatan di Sekolah Kepenulisan Sastra Peradaban (SKSP) Purwokerto dan studi di UIN Prof. K.H. Saifuddin Zuhri Purwokerto jurusan Komunikasi Penyiaran Islam (KPI).