Cahaya dari Rahimmu
Rodinatul Munawaroh. (dokpri)
Oleh: Rdinaa Munawaroh (*)
Gerimis mulai tercipta seiring jarakku menjauh dari asrama. Butiran air semakin rapat menempel dikaca kendaraan umum tempatku terduduk dalam bisu. Gelegar petir mulai berseru, bahkan bising jalan raya oleh klakson yang saling beradu seolah ikut berlomba dengan waktu. Namun, seakan semua tak terdengar olehku. Aku diam, bagai batu.
“Perbanyak istighfar Nduk, ini sudah kehendak-Nya.” Aku masih diam, diam-diam meneguk ludah yang terasa begitu pahit. “Sebentar lagi kita sampai, dek Misbah juga katanya sebentar lagi sampai, kalian masih bisa melihat ibuk.”
Pakdhe Rahmat kembali bersuara. Sedangkan aku masih tak sanggup untuk mengatakan apa-apa. Kepalaku tertoleh keluar jendela, hujan sudah benar-benar deras sekarang. Dan aku justru bertanya-tanya. Andai saja aku tengah berjalan, apakah aku masih sempat untuk berhenti ditengah jalan hanya untuk menuntaskan tangisan supaya tersamarkan seperti dulu? Apakah aku masih sempat untuk mengulur waktu hanya untuk mendapatkan ketenangan yang semu?
Ah, tidak mungkin. Bahkan kalau saja sekarang aku diberi kesempatan untuk berjalan, aku akan menyeret kakiku secepat yang aku mampu supaya segera sampai kerumah. Menemui wanita setengah baya yang kuatnya tak bisa dibandingkan dengan baja. Menemui wanita setengah baya yang memberikan ketenangan bagai telaga surga.
Mataku berkedip pelan, tiba-tiba bayangan wajah yang tengah kupikirkan hadir dalam ingatan. Bayangan bagaimana tanganku yang selalu digenggamnya setiap berangkat menuntut ilmu di taman kanak-kanak, bayangan bagaimana lebar senyumya ketika memperkenalkanku dengan bayi mungil sepulang aku sekolah, bayangan bagaimana dia datang ke setiap acara perpisahan sekolahku dengan perut yang selau besar, bayangan bagaimana foto keluarga pertama kita yang memenuhi layar kamera karena banyaknya anggota keluarga, bahkan bayangan ketika dirinya tercekat saat aku mengatakan penolakan kala nyawa kembali ada dalam rahimnya.
Ibuk adalah wanita terkuat yang pernah ada. Dari rahimnya terlahir 9 nyawa tanpa bantuan siapa-siapa. Bahkan ketika wanita lain harus beristirahat total setelah melahirkan, ibuk langsung kembali seolah tak merasa sakit sama sekali. Kembali mengurusi keluarga, kembali melakukan aktivitasnya tanpa pernah kehabisan tenaga. Sayangnya, aku hanyalah anak egois yang tak mampu melihat itu semua. Memilih pergi dengan alasan kebaikan menuntut ilmu, padahal hanya untuk menghindari rasa malu. Iya. Aku malu. Aku malu ketika semua orang mengatakan,
“Ibumu punya anak 9 Na? Banyak sekali. Kenapa nggak KB saja?”
“Wow, harusnya 11 sekalian saja biar seperti pemain sepak bola.”
“Bilang sama ibumu biar ikut KB. Sudah tua loh”
“Ada rencana mau tambah lagi? Keren banget kalo iya.”
Rasanya aku ingin sekali menutup telinga. Aku bisa apa? Sedangkan hal itu sudah menjadi kehendak-Nya. Orang tuaku bukan orang tua bodoh. Orang tuaku juga tahu apa itu keluarga berencana, bagaimana risiko melahirkan dihari tua, bagaimana susahnya menghidupi banyak kepala, tapi kalau memang sang pencipta sudah berkehendak mempercayakan nyawa dari rahim ibuku, bisa apa?
Andai aku punya keberanian untuk menjawab seperti itu. Andai mereka punya pemikiran selapang itu. Pasti aku tidak akan ditenggelamkan dalam malu dan memilih menciptakan jarak semu namun palsu. Aku pasti tidak akan pergi dengan alasan menuntut ilmu di tanah jauh tanpa mampu terjangkau oleh pertanyaan dan pernyataan itu.
Dan sekarang, aku tak tahu apa yang harus aku rasakan ketika ketakutan terbesarku akhirnya terjadi. Ibuk gugur dalam perjalanannya mengantarkan nyawa ke sepuluhnya ke dunia. Nyatanya, ibuk tak sekuat yang aku kira. Dan rasanya aku ingin sekali menyalahkan Tuhan atas teganya Dia kepada hambanya yang sudah terlalu renta. Apakah tidak ada hambanya yang lain yang bisa Engkau percayai?
“Nala, istighfar.”
Entah kenapa aku tersentak mendengar ucapan pamanku yang seolah mengerti isi kepalaku. Apakah aku sudah berkelana terlalu jauh dengan pikiranku? Apakah salah jika aku berpikir seperti itu?
*******
Kini rumah sederhana berwarna putih kusam telah terpampang didepan mata, suara dengung ayat suci memenuhi indera telinga. Aku masih terdiam seribu bahasa, masih tak mengerti harius berekspresi seperti apa. Benci, sedih, kecewa, dan takut menjadi satu. Aku belum siap untuk semuanya. Dan semua perasaan tak jelas itu justru beradu, menggumpal menjadi satu seolah setuju untuk menyiksa kalbuku. Sesak, ingin meledak, namun kosong. Bahkan ketika Bapak menghampiriku dengan wajah tegar penuh dustanya, aku masih tak tahu harus melakukan apa.
“Ayo nduk kedalam, kita ngaji bareng sama adik-adik.”
Kakiku melangkah sesuai kontrolnya, membawaku ketengah ruangan penuh kelabu dan rintih sendu. Namun ketika masih diambang pintu, aku justru terpaku. Seolah segalanya terhenti, terhisap oleh waktu.
Ibuk berdiri didepanku. Tersenyum begitu indah dengan wajah bercahaya menenangkan. Kata-kata penenang terucap olehnya, namun lidahku terlalu kelu untuk berbicara, bahkan hanya sekedar untuk mengatakan iya ketika dia menanyakan kabar apakah aku baik-baik saja.
Di detik ini, aku sudah tahu harus apa. Aku hanya ingin memelukmu, mengatakan betapa rindunya aku, dan betapa inginnya aku untuk kembali bersamamu. Sayangnya, sekejap kau menghilang dikala aku memikirkan hal itu. Digantikan dengan pemandangan nyata adik-adikku yang tengah melantunkan ayat suci didepanmu dengan dikelilingi oleh cahaya. Cahaya yang sama dengan cahayamu, namun tanpa nafas kehidupanmu.
Ibu, kata maaf ini terlalu menyakitkan ketika tak tersampaikan padamu.
*******
*Rodinatul Munawaroh, Lahir di Pemalang, 7 Maret 2004. Hobby menulis hanya sekedar untuk mengisi waktu luang sejak masa pandemi ketika masih menjadi Santri sekaligus Siswa di YPI Minhajut Tholabah, Purbalingga-Jawa Tengah. Namun ternyata, ketagihan sampai sekarang. Selain itu juga perempuan pecinta alam dan sekarang tengah menjadi mahasiswa Biologi di salah satu Universitas di Kota Malang.