Ternyata, Pujian Cantik Atau Ganteng pada Anak Punya Dampak, Ini Penjelasannya


Rumah Baca Orid
– Setiap minggu pertama bulan September, negara tetangga kita Australia memperingati Body Image and Eating Disorder Awareness Week (BIEDAW). Selama satu pekan penuh, publik diajak menghayati pentingnya membangun citra tubuh (body image) positif dan mengasah kepedulian terhadap masalah gangguan makan (eating disorder) yang menimpa 1 dari 20 penduduk di negeri kanguru tersebut.

Selama pekan BIEDAW, tak kurang dari Emily Seebohm — peraih tiga kali medali emas Olimpiade dari cabang olahraga renang, dan Tegan Martin — model dan penyandang gelar Miss Universe Australia 2014, berbagi kisah perjuangan jatuh bangun mereka untuk membebaskan diri dari masalah gangguan makan serta usaha keras mereka untuk membangun citra tubuh positif.

Citra tubuh — atau singkatnya cara seseorang memandang dan menghargai tubuhnya sendiri, memang tidak bisa dianggap perkara sepele. Mengutip hasil studi yang terbit di International Journal of Culture and Mental Health tahun 2017, citra tubuh merupakan salah satu faktor kunci yang berpengaruh signifikan terhadap kesehatan fisik dan mental seseorang.

Bila citra tubuh positif bisa memuluskan proses penerimaan seseorang terhadap dirinya sendiri, maka sebaliknya, citra tubuh negatif bisa menjerumuskan seseorang pada beragam masalah psikologis, mulai dari gangguan makan, gangguan dismorfik tubuh (body dysmorphic disorder), lemahnya rasa percaya diri, sampai kecenderungan untuk menderita depresi.

Tidak sebatas pada orang dewasa, masalah psikologis terkait citra tubuh negatif juga ditemukan pada anak-anak. Seperti dilansir situs Mental Health Foundation UK, hasil survey terhadap anak usia 11-16 tahun menunjukkan bahwa 52% dari mereka mengalami kecemasan akan tampilan tubuhnya di mata orang lain. Studi lain yang terbit Agustus 2022 di JAMA Pediatrics menyatakan, 5% anak usia 9-10 tahun mengalami gangguan makan lantaran merasa tidak memiliki bentuk tubuh ideal.

Menurut peneliti, hal ini sedikit banyak dipengaruhi oleh standar kecantikan tidak realistis yang berlaku di masyarakat dan disebarluaskan di media sosial, yang menganggap bahwa seseorang harus memenuhi syarat fisik tertentu agar layak dibilang cantik atau ganteng. Tak kalah penting, pemicu lain munculnya citra tubuh negatif pada diri anak-anak adalah pengaruh keluarga, terutama perkataan, sikap, dan pola asuh orang tua di rumah.

Menariknya, tak sedikit peneliti dan pakar psikologi yang berpendapat bahwa bukan hanya perkataan negatif berupa sindiran yang bisa memicu munculnya citra tubuh negatif pada diri anak, melainkan juga perkataan positif berupa pujian atas penampilan fisik, seperti memuji anak dengan sebutan “cantik” ataupun “ganteng”. Mengapa bisa demikian?

Internalisasi kata-kata orang tua

Dian K. Partawidjaja, M.Psi, psikolog klinis anak dari Universitas Indonesia , menyatakan bahwa kata-kata yang diucapkan oleh orang tua  merupakan suatu hal yang besar maknanya bagi anak. Pasalnya, orang tua  adalah sosok yang amat signifikan dalam kehidupan seorang anak, sehingga apa pun yang disampaikan orang tua  akan turut membentuk gambaran anak akan diri mereka.

Memuji anak dengan sebutan “cantik” atau “ganteng”, menurut Dian, sebenarnya boleh-boleh saja, selama hal tersebut dilakukan dalam batasan wajar dan logis serta tidak berlebihan. Batasan wajar yang dimaksud adalah pujian disampaikan pada momen yang tepat, misalnya ketika anggota keluarga sedang mengikuti acara khusus sehingga anak berpakaian atau berdandan istimewa.

“Adanya momen tersebut yang akan memberi batasan pada anak bahwa dia bukanlah orang yang paling cantik atau ganteng di segala situasi. Anak akan paham bahwa panggilan tersebut merupakan bentuk apresiasi orang tua  pada dirinya, dan bukan suatu hal yang serta merta diterima oleh anak kapan saja,” jelas Dian.

Lebih lanjut menurut Dian, apabila kata pujian “cantik” atau “ganteng” ini sering didengar anak karena berulang kali diucapkan oleh orang tua nya, maka kata-kata tersebut akan terinternalisasi dalam diri anak dan menjelma menjadi sesuatu yang dia yakini kebenarannya. Kata pujian tadi akan berkembang menjadi bentuk penilaian subyektif anak atas dirinya sendiri.

Bukan itu saja, pengulangan sebutan “cantik” ataupun “ganteng”, menurut Renee Engeln, Ph.D. — psikolog dari Northwestern University, Illinois dan penulis buku Beauty Sick: How the Cultural Obsession with Appearance Hurts Girls and Women, juga menyiratkan bahwa penampilan fisik merupakan suatu hal yang penting nilainya bagi orang tua.

Seperti dijabarkan Renee di situs Psychology Today, mekanismenya sama seperti ketika orang tua  mengulang-ulang nasihat tentang pentingnya memiliki empati, rasa berbagi, dan kebaikan hati pada anaknya. Makin sering diulang, makin besar pula kemungkinan nasihat tersebut diresapi oleh anak. Hasilnya, anak akan menganggap bahwa empati, berbagi, dan kebaikan hati merupakan nilai-nilai yang penting bagi orang tua nya, sehingga dia termotivasi untuk menyertakan hal tersebut dalam keseharian.

Hal inilah yang membuat Renee menarik kesimpulan bahwa terlalu sering memberikan pujian yang berfokus pada penampilan fisik semata akan mendatangkan lebih banyak kerugian — alih-alih keuntungan pada anak, terutama anak perempuan. Pasalnya, masyarakat di berbagai belahan dunia cenderung lebih sering memuji penampilan fisik anak perempuan dibandingkan anak laki-laki.

“Terlalu sering dipuji cantik bisa membuat anak merasa bahwa kecantikan adalah kualitas paling penting yang dimilikinya. Sebagai akibatnya, dia akan merasa dituntut untuk selalu tampil cantik dan jadi kurang termotivasi untuk mengasah kualitas lain yang dimiliki seperti kecerdasan, kemandirian, rasa ingin tahu, dan sebagainya,” ujar Renee.

Pujian berubah jadi ‘senjata makan tuan’

Masalah lebih lanjut bisa muncul apabila anak mulai terpapar standar kecantikan ideal yang berlaku di masyarakat, baik melalui pergaulan sehari-hari, media massa, maupun media sosial. Besar kemungkinan, anak akan mulai membandingkan karakteristik fisik yang dimilikinya dengan standar kecantikan yang dijadikan referensi.

Bila ternyata dia menemukan banyak perbedaan, maka konsekuensi yang mungkin terjadi adalah anak akan mempertanyakan atau bahkan meragukan kebenaran dari pujian yang disampaikan orang tua nya. Tak menutup kemungkinan pula, anak akan merasa gagal lantaran tidak bisa memenuhi standar kecantikan yang menjadi acuan dan ujung-ujungnya malah jadi mengembangkan citra tubuh negatif.

“Citra tubuh negatif ini akan memunculkan ketidakpuasan anak pada dirinya sendiri. Terlebih, faktor lingkungan yang membentuk persepsi tertentu tentang definisi kecantikan akan semakin menguatkan penilaian anak terhadap dirinya sendiri. Membandingkan diri dengan orang lain yang dinilai memenuhi standar kecantikan ideal akan semakin memperlebar jurang perbedaan, menambah ketidakpuasan anak pada dirinya, mengikis rasa percaya diri, dan membuat konsep diri anak menjadi negatif,” ujar Dian.

Karena berbagai hal itulah, pujian yang awalnya dimaksudkan untuk menggenjot rasa percaya diri anak bisa-bisa malah berbalik menjadi ‘senjata makan tuan’, apabila dilakukan secara berlebihan dan tidak pada tempatnya.

Bukan hanya kata-kata pujian yang meleset dari sasaran, orang tua  juga perlu tahu bahwa sikap, gestur, serta perilaku orang tua  yang terkadang dilakukan tanpa disadari, juga bisa menghadirkan dampak yang tidak diharapkan pada diri anak.

Misalnya ketika orang tua memuji-muji kecantikan bintang film saat menonton televisi, melontarkan komentar pedas tentang penampilan seorang teman, atau mengeluh panjang lebar saat mendapati berat badan naik drastis. Jika anak kebetulan mendengar dan menyaksikannya, jangan heran bila dia akan tiba pada kesimpulan bahwa tampilan fisik rupawan adalah segala-galanya di mata orang tua nya.

Bantu anak membangun citra tubuh positif

Untungnya, orang tua  juga punya kemampuan untuk membantu anak membangun citra tubuh positif agar terhindar dari perasaan tidak puas terhadap dirinya sendiri. Sedini mungkin, menurut Dian, orang tua  bisa mengajak si Kecil mengenali anggota tubuhnya, mulai dari panca indera hingga bagian tubuh lainnya dari ujung kepala hingga kaki, dengan bahasa sesuai usia anak.

Saat mengenalkan anggota tubuh, jelaskan pula fungsi-fungsinya pada anak, sehingga dia tahu bahwa setiap anggota tubuh miliknya itu istimewa. Dengan mengenal dan mengetahui segenap fungsi anggota tubuh, anak akan belajar untuk mensyukuri apa yang dia miliki. Rasa syukur ini yang akan menjadi landasan utama bagi anak untuk memaknai penampilan fisiknya serta membangun persepsi atas apa yang dimilikinya.

Selanjutnya, orang tua bisa lebih sering memberikan apresiasi pada anak bukan hanya untuk hal-hal yang terkait fisik, namun juga untuk perkataan dan perbuatan positif yang anak lakukan. Hargai usaha anak saat dia melakukan sesuatu. Dengan begitu, anak akan dapat melihat kualitas lain dari dirinya yang dapat dibanggakan dan menimbulkan kepuasan.

“Pada anak yang lebih besar, orang tua perlu membekali dan mendampingi anak saat berinteraksi di lingkungan sosial, termasuk ketika beraktivitas di media sosial. Anak-anak yang belum cukup matang untuk memaknai hal-hal yang ada di lingkungan sosial akan memiliki persepsi kurang tepat, sehingga penting bagi orang tua  untuk melakukan pendampingan. Ajak anak berdiskusi agar dia memiliki pemahaman yang benar akan hal-hal di sekitarnya,” Dian menjelaskan.

Terakhir, ketika hendak memberikan apresiasi pada anak, orang tua  perlu berlatih untuk mengarahkan pujian pada hal-hal yang berada dalam wilayah kendali anak (kecantikan berada di luar wilayah kendali karena sudah dimiliki anak sedari lahir, bukan?). Misalnya, memuji anak “rajin” ketika dia membantu melakukan pekerjaan rumah. Atau, memuji sikap anak ketika dia bersedia mengajak adiknya bermain.

Kalaupun sesekali ingin memuji penampilan anak, fokuskan sasaran pada hal-hal yang bisa dikendalikan dan diusahakan olehnya, seperti aspek kebersihan, kerapian, dan keserasian dari penampilan. Ini berguna agar anak terhindar dari obsesi berlebihan terhadap atribut fisik yang dimilikinya. (*)


Sumber artikel: Tirto.id