Demi Tambang Fosfat?
Sumenep, Rumah Baca Orid
Kabupaten Sumenep, Madura, Jawa Timur, memiliki potensi sumber daya alam cukup melimpah. Selain minyak dan gas (Migas), potensi pariwisata di daerah ini juga menjanjikan.
Di samping itu, kabupaten paling timur Pulau Madura ini juga disebut kaya dengan fosfat, yaitu bahan baku pupuk. Dalam satu keterangan disebutkan, bahwa fosfat ialah nutrient esensial yang diperlukan oleh tanaman dalam pertumbuhan dan perkembangannya.
Kepala Badan Perencanaan dan Pengembangan Daerah (Bappeda) Sumenep, Yayak Nurwahyudi menyampaikan, dari 27 kecamatan yang ada, fosfat menghampar di 15 kecamatan.
“Kalau kita (Sumenep, red) sebenarnya kaya. Kita hampir ditutupi fosfat. Memang tidak semua kecamatan, tapi sekitar 15,” ujarnya kepada wartawan, seperti dilansir koranmadura.com, Rabu, 13 Januari 2021.
Lebih lanjut, dia menyampaikan, 15 kecamatan yang dimaksud tersebar di wilayah daratan dan kepulauan. Yayak tidak menyebut nama-nama kecamatannya.
Namun demikian, di Sumenep terdapat delapan kecamatan yang menjadi kawasan pertambangan fosfat, yaitu Batuputih, Ganding, Manding, Lenteng, Guluk-Guluk, Gapura, Bluto, dan Arjasa.
Hal tersebut terdapat pada Pasal 40 Peraturan Daerah (Perda) Nomor 12 Tahun 2013 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Sumenep Tahun 2013-2033.
Perda RTRW akan Diubah
Pemkab Sumenep berencana mengubah Perda tersebut. Namun Yayak membantah, bahwa renacana itu dalam rangka ‘menggolkan’ penambangan fosfat di Sumenep. “Tidak ada sangkut pautnya ke situ,” tegasnya.
Rencana perubahan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 12 Tahun 2013 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Sumenep Tahun 2013-2033 sebetulnya sudah masuk Program Pembentukan Daerah (Propemperda) tahun 2020 lalu. Namun tak terbahas. Sehingga tahun ini kembali dimasukkan dalam Propemperda.
Perubahan peraturan daerah itu, sambungnya, hanya sekitar 20 persen dari Perda RTRW yang ada sekarang. “Karena kalau lebih dari 20 persen, maka harus dibuat Perda baru,” urai Yayak.
Tak Masuk Akal
Menyikapi rencana perubahan Perda RTRW tersebut, salah seorang pegiat agraria di Sumenep, A. Dardiri Zubairi, menilai sebagai sesuatu yang sangat tidak masuk akal.
Dia menilai proses perubahan Perda RTRW itu tidak transparan. Tidak ada konsultasi publik baik dalam bentuk diskusi publik, seminar, maupun debat terbuka di media yang memungkinkan publik ikut memberikan aspirasi seluas-luasnya.
“Kalau pun ada, yang saya dengar Bappeda cuma bikin FGD tapi drafnya sudah ada, waktunya terbatas, alur FGD diarahkan untuk menyetujui,” urainya.
Menurut dia, Perda RTRW harusnya memberi kemaslahatan bagi rakyat Sumenep. Dibuat atas dasar kebutuhan masyarakat dalam jangka panjang, bukan jangka pendek. “Serta bukan untuk kebutuhan segelintir orang, kelompok, atau pengusaha,” tambahnya.
Lebih lanjut Kiai Dardiri juga berbicara mengenai dampak tambang. Menurutnya, di mana-mana keberadaan tambang cenderung merusak, bukan membangun.
“Silakan googling negara Nauru, negera kaya yang justru ketika fosfatnya ditambang sekarang menjadi negara miskin. Jadi tolong hentikan buat kebijakan berjangka pendek, merusak, dan bukan untuk kemaslahatan rakyat Sumenep khususnya,” tegas Kiai Dardiri.
Dampak Buruk Penambangan Fosfat
Kiai Dardiri kemudian juga mengurai beberapa dampak buruk terhadap masyarakat jika terjadi penambangan fosfat. Menurutnya, tanah merupakan gugusan batu karst. Sedangkan karst adalah tandon tempat menyimpan air ketika musim hujan.
“Kalau fosfat diambil tandonnya akan rusak. Dalam jangka panjang, kita akan mengalami kekeringan. Di beberapa titik jika musim kemarau sumur sumur rakyat sudah kekurangan air,” paparnya.
Di samping itu, jika fosfat ditambang, ketika musim hujan apalagi dengan curah hujan tinggi, maka akan menimbulkan banjir. “Banjir di Sumenep yang makin besar tahun ini akibat rusaknya wilayah resapan air di hulu sungai Kebunagung dan sepanjang pesisir sungai. Bayangkan jika terjadi penambangan fosfat, akan makin mengerikan,” jelas dia.
Tak hanya itu, masih menurutnya, penambangan fosfat juga akan berpengaruh terhadap kesuburan tanah. Sehingga jika fosfat habis ditambang, kesuburan tanah juga akan habis. “Dan ini akan merugikan para petani. Dampaknya tentu pada ketahanan pangan,” tutupnya. (koranmadura.com)