Melawat Ke Tanah Gersang: Catatan Residensial di Mollo


DARI
angkasa, malam kota Kupang adalah langit sungsang yang dijatuhi bintang-bintang. Pesawat saya mendarat sekitar pukul setengah sepuluh malam waktu Indonesia bagian timur pada 20 Oktober 2019. Di gerbang Bandar Udara El Tari, saya disambut Eric Lofa, seorang penulis muda Kupang yang bergiat di Komunitas Dusun Flobamora, sebelum esok harinya berangkat ke Kapan.

Di Lakoat.Kujawas

Butuh waktu sekitar empat jam dari Kupang hingga Kapan, Kabupaten Timor Tengah Selatan. Sepanjang perjalanan, mobil saya melintasi lembah dan bukit batu. Komposisi dan kontur Pulau Timor didominasi karang-karang. Penduduknya hidup di atas punggung seekor buaya yang terlelap. Mereka menyebut diri mereka sebagai atoni pah meto. Orang-orang tanah gersang.

Ketika matahari sedikit bergeser ke arah barat, saya sampai di kediaman Dicky Senda (33), budayawan muda Mollo. Di tangga teras, Dicky menyambut saya dengan kemeja biru kotak-kotak, celana pendek abu-abu, dan rambut yang tersanggul sebagaimana orang Dawan dahulu. Untuk selanjutnya, selama beberapa pekan ke depan, saya akan tinggal di rumah Dicky yang beralamat di desa Taiftob, Kecamatan Mollo Utara.

Christianto Dicky Senda merupakan nama asli Dicky Senda. Kesalahan administratif menyebabkan nama tengahnya lenyap. Namun, ia tetap memakai nama Dicky Senda sebagai identitas penulis. Orang-orang Taiftob telanjur mengenalnya sebagai Dicky. Dari nenek, di dalam tubuhnya mengalir darah Jawa. Tetapi orang-orang Timor adalah masyarakat patrilineal. Maka, Dicky mewarisi marga Senda di belakang namanya; identitas yang juga menggantung di belakang nama ayahnya.

Dicky tinggal di sebuah rumah modern yang sunyi. Meski suhu di luar panas, rumah Dicky sejuk. Saya sadar, Taiftob merupakan wilayah pegunungan. Karena saya orang pesisir yang terbiasa panas, di dalam rumah Dicky saya merasa kedinginan. Berkemul selimut meski tidur pada siang bolong dan enggan mandi karena air terasa sedingin es. Kata orang-orang, pada saat itu suhu sedang panas-panasnya. Taiftob akan terasa dingin menusuk tulang ketika musim hujan telah bertandang. Pada musim hujan jualah segala buah dan sayur beserta karunia Bumi lainnya akan melimpah-limpah hingga alpukat pun menjadi hidangan babi.

Kekayaan alam desa itulah yang menginisiasi Dicky mendirikan komunitas Lakoat.Kujawas di Taiftob. Komunitas itu bergerak di antara dua misi, yaitu kerja di bidang literasi dan kewirausahaan sosial. Kerja literasi disasarkan kepada para remaja, sedangkan kewirausahaan sosial ditujukan kepada orang-orang dewasa. Untuk kerja literasi, Dicky membuka salah satu bagian rumahnya menjadi perpustakaan yang menyimpan ribuan buku. Kehadiran anak-anak di perpustakaan inilah yang mampu memecah sunyi rumah itu. Dicky juga menjadi mentor menulis siswa-siswa di beberapa sekolah. (Selama saya tingga di sana, orang-orang bergotong-royong mendirikan ruang arsip dan perpustakaan di kebun belakang rumah Dicky.) Sementara itu, bersama orang-orang dewasa, ia mengolah hasil Bumi menjadi komoditas yang diproduksi dengan mengawinkan metode tradisional dan modern.

Saya tinggal lebih kurang dua puluh hari di rumah Dicky. Selama tinggal di sana, saya menggali informasi tentang kosmologi Mollo yang banyak dituturkan Dicky di meja makan. Saya juga mempelajari kosmogoni Mollo di buku-buku yang tersedia di rumah kuning itu. Di tengah kesuntukan membaca budaya Mollo, saya sering ditemani anjing jantan ramah bernama Doggy. Makhluk berbulu cokelat inilah yang kerap mengisi hari-hari sepi saya di Taiftob, bermain di ruang tamu, beranda, dan halaman berhias pohon kelapa, bugenvil, dan lopo bambu. Doggy selalu menyambut dengan langkah-langkah kakinya yang setengah meloncat dan ekornya yang berayun ke kanan-kiri setiap saya kembali ke rumah itu sehabis perjalanan dari luar.

Selain menggali informasi tentang kosmologi Mollo, di sana saya juga hanyut dalam irama hidup Dicky: turut bergotong-royong mendirikan perpustakaan bersama warga, menjadi relawan menulis untuk anak-anak Lakoat.Kujawas, menghadiri pesta-pesta malam hari yang penuh dansa-dansi, dan pada suatu kali juga menemani Dicky ke Kefamenanu, Kabupaten Timor Tengah Utara, ketika ia diundang sebagai narasumber seminar di Universitas Timor. Di Kefa pula Dicky memperkanalkan saya dengan teman-temannya dari berbagai komunitas anak muda.

Nan tak kalah penting, di Taiftob saya berteman dengan orang-orang baik dan hebat yang menjadi bagian dari komunitas Lakoat.Kujawas. Mereka, yaitu Mama-Bapa Fun, Mama Meti, Mama-Bapa Tua, Rein, Dewi, Maya, Romo Jimmy, dan lain-lain. Juga anak-anak Lakoat.Kujawas yang cerdas dan riang. Tentu saja Doggy adalah sahabat termanis saya di Lakoat.Kujawas.

Tak Ada Terang di Tune

Butuh waktu kurang dari sejam perjalanan dari Kapan ke Tune di Kecamatan Tobu. Desa itu terletak di lereng Gunung Mutis. Ke sana, saya naik ojek, melewati jalan tak beraspal dan terjal. Atas rekomendasi Dicky, saya berkunjung ke desa adat tersebut pada 5 November untuk mencari tahu tentang kasus tambang yang pernah mendera Mollo pada dekade pertama milenium dua ribu. Sejak awal, rencana residensial ke Mollo digerakkan oleh ketertarikan saya atas isu tambang yang melibatkan para aktivis perempuan.

Saya sampai di rumah Arit Oematan, seorang tokoh Tune, ketika matahari condong ke arah barat. Rumah Bapa Arit yang berdinding kayu gewang terletak di belakang Gereja Bestaumuti. Dari beranda rumah Bapa Arit yang sejuk, saya dapat melihat hamparan lembah dan perbukitan. Di kediaman Bapa Aritlah saya tinggal selama dua malam.

Begitu saya sampai, di beranda rumah Bapa yang permai, kisah tentang tambang mengalir dari ingatannya yang tajam. Mama Harlenci Tampani (28), menyuguhi kami dengan teh hangat dan jagung goreng. Sesekali putra-putri Bapa Arit yang masih kecil berseliweran di beranda itu bersama anak-anak anjing.

Malam harinya, Bapa Arit mengajak saya ke rumah Mama Deci Bernadeta Nifu, seorang aktivis tambang yang pada 2006 mendeklarasikan sumpah adat pasca-perebutan kembali tanah ulayat yang sempat diklaim negara. Namun, malam itu Mama Deci dan Bapa Arit tidak bercerita masalah tambang, tetapi berkisah tentang kosmologi Mollo: Uis Neno Mnanu, Uis Pah, Uis Neno Pala, suanggi, nitu, dan sebagainya. Mereka bertutur di beranda yang dihiasi siluet pohon-pohon palem dan lolongan anjing-anjing. Lampu minyak hanya memancar di ruang dalam.

Indonesia terang memang belum menyentuh Tune. Desa Tune yang sunyi masih dilingkupi kegelapan pada malam hari. Di rumahnya, Bapa Arit menyalakan genset ketika matahari telah tenggelam dan dimatikan ketika penghuni rumah beranjak ke kamar tidur.

Keesokan harinya, Bapa Arit beserta kedua temannya mengajak saya ke Bubneo, petilasan di atas batu besar yang dahulu merupakan tempat tinggal pertama moyang orang Tune, pasangan Liem-Oematan. Kini petilasan itu telah menjadi situs ritual buka lahan, pascapanen, dan lain-lain. Dari rumah Bapa Arit diperlukan kira-kira setengah jam berjalan kaki hingga sampai ke tempat itu; melewati kontur tanah naik-turun, mata air, kuburan, hutan, sembari mampir ke permukiman tua yang terdiri atas sejumlah lopo dan ume kbubu (rumah bulat).

Namun, sekali lagi, tujuan saya ke desa itu untuk memperoleh informasi tentang perjuangan orang-orang Tune melawan perusahaan tambang batu. Maka, siang itu, setelah kembali dari Bubneo, Bapa Arit mempertemukan saya, selain dengan Mama Deci, juga dengan Mama Anaci Anin yang telah sepuh, tetapi masih tampak perkasa. Sosok berambut kelabu itu merupakan seniman tenun yang pernah menjadi simbol perempuan adat ketika terjadi perlawanan  terhadap perusahaan tambang marmer di Fatumnasi. Mama Harlenci sendiri merupakan sekretaris kepercayaan Mama Aleta Baun yang masyhur itu. Dari perbincangan di beranda rumah Bapa Arit siang itu, saya baru tahu bahwa warga Tune-lah yang menjadi fondasi perlawanan terhadap perusahaan tambang Marmer yang pernah viral lantaran Mama Aleta.

Menjelang petang, Bapa Arit beserta seluruh anggota keluarga kecilnya mengajak saya ke ume kbubu marga Oematan. Lelaki gempal itu menjelaskan arti simbol-simbol yang ada di dalam ume kbubu. Rumah tradisional berlantai tanah tersebut juga menyimpan hasil Bumi seperti jagung dan bawang putih yang digantung di atap, tepat di atas tungku.

Di Batas Indonesia

Perjalanan ke Oepoli, Kecamatan Amfoang Timur, Kabupaten Kupang, dimulai pukul delapan pagi hingga pukul enam petang pada 8 November. Perjalanan memakan waktu relatif lama bukan karena jarak Kapan-Oepoli jauh, melainkan kondisi jalan yang mengharuskan bus merayap perlahan-lahan. Sekitar sembilan puluh persen jalan menuju Oepoli tidak beraspal, berbatu-batu, sempit, dan terjal. Ketika jalan-jalan di wilayah Indonesia lainnya sudah mulus, rute di sepanjang Kapan-Oepoli terasa seperti masih berada di rezim Orde Baru. Jauh ditinggal waktu. Bus kecil saya juga harus menyusuri sungai kering berbatu-batu besar. Mirip Musa beserta bala Israel ketika menyeberangi Laut Merah. Bedanya, kami tidak sedang dikejar-kejar pasukan Firaun. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana situasi perjalanan ini saat musim hujan. Tetapi, perjalanan pada musim kemarau bagi saya tidak terlalu kalah dramatis: tubuh kami terbalut debu yang senantiasa mengepul. Ditambah drama ban bocor di siang bolong.

Sampai di Oepoli, saya disambut Romo Januario Gonzaga, Frater Apo, dan siswa-siswa SMPK San Daniel. Tanpa babibu, malam itu juga, di bawah pancaran lampu Stasi Santo Petrus Tataum -tempat saya tinggal selama di Oepoli- yang hanya berpijar dari pukul enam petang hingga enam pagi, kelas menulis untuk anak-anak dimulai. Begitulah rencana saya di wilayah perbatasan ini, memberikan pelatihan menulis kepada anak-anak.

Tetapi, kelas menulis itu diinterupsi oleh agenda hari berikutnya yang mengharuskan kami melawat ke negara bekas jajahan Indonesia: Timor Leste. Bersama rombongan siswa SMP dan SMA, kami ke Timor Leste dengan bus dan truk. Di Oekusi, kami disambut oleh Pater Carlos Dideus dan punggawa Paroki Sao Miguel Arkanjo Padiae. Di sanalah kami tinggal selama study tour dan ziarah di Oekusi.

Di Oekusi kami punya beberapa agenda literasi, antara lain belajar tentang budaya atoni pah meto, sejarah Katolik di Timor, mengunjungi tempat-tempat bersejarah seperti Lifau. Lifau yang berarti ‘perkumpulan orang banya’ merupakan tempat di mana Portugis singgah pertama kali di Pulau Timor pada 1515. Dulu, di Lifau banyak orang berdoa dan berdagang. Di Lifau juga berdiri sebuah tugu sebagai peringatan atas peristiwa seorang misionaris yang melihat penampakan salib di Pulau Timor ketika sedang berjalan-jalan di Pantai Adonara pada suatu senja. Kami juga mengunjungi gereja tua peninggalan Portugis di Pantai Oekusi. Gereja ini menyimpan Sinor Mortu, patung jenazah Yesus -didatangkan dari Portugis- yang dikeluarkan dan diratapi setiap hari Paskah. Sementara itu, tempat sakral lain yang kami kunjungi, yaitu situs Santo Antonio di Sumlili. Dahulu, ketika sedang bekerja, seorang tukang kebun melihat penampakan Santo Antonio berwujud patung. Atas semua informasi tersebut, kami berutang banyak kepada budayawan Timor Leste, Arnaldo Naisunis.

Malam terakhir di Oekusi diisi dengan penampilan siswa-siswa dari Oepoli dan Oekusi di panggung seni pertunjukan. Acara itu juga dihadiri oleh perwakilan Kedubes Indonesia di Timor Leste. Setelah dua malam di Oekusi, kami kembali ke Oepoli.

Selama dua malam terakhir di Oepoli, saya menghabiskan waktu dengan kelas-kelas menulis. Pada senja terakhir, anak-anak mengajak saya jalan-jalan ke pantai. Pantai itu tampak masih perawan. Desa itu memang kampung pesisir, tetapi tak banyak warga yang berprofesi sebagai nelayan. Ketika saya menanyakan alasannya kepada sejumlah orang, jawaban mereka macam-macam: mulai dari persoalan buaya, teknologi nelayan yang tak memadai, hingga musim. Warga Oepoli lebih banyak berprofesi sebagai pembuat sopi dan peternak sapi.

Menjelang Pulang

Di Kapan, saya menghabiskan beberapa hari menjelang kepulangan dengan berkunjung ke Fatumnasi dan bekas tambang marmer di Naetapan. Fatumnasi merupakan sebuah desa adat di kaki Gunung Mutis. Di banyak kebudayaan, gunung dipercaya sebagai tempat sakral. Gunung adalah simbol aras tertinggi, persemayaman dewata. Gunung Agung, Gunung Kawi, Gunung Merapi merupakan beberapa di antara gunung-gunung yang dianggap suci oleh masyarakat Nusantara. Dalam kebudayaan lampau, misalnya, Olimpus dianggap tempat berdiamnya Zeus beserta dewa lainnya. Sinai adalah singgasana Yahweh yang merupakan dewa gunung masyarakat Median. Sementara itu, Mutis menjadi gunung kudus yang tegak berdiri di Pulau Timor. Saat ini kawasan Mutis berstatus sebagai cagar alam. Gerbang Cagar Alam Mutis beririsan dengan Fatumnasi yang kerap disebut sebagai Firdaus-nya Timor.

Sebelum singgah di Naetapan, saya telah membaca bagaimana kasus tambang marmer di sana pernah bergejolak. Tiba-tiba warga terkejut karena tambang marmer yang dikira akan mempercantik bukit, malih rupa balok-balok. Akhirnya perlawanan warga pun pecah. Tambang marmer gagal beroperasi. AMDAL bisa saja lolos. Namun, korporasi tak penah mengerti betapa pentingnya kedudukan batu dalam kosmologi Mollo. Menurut orang Mollo, batu-batu besar adalah tonggak identitas marga. Mereka menyebutnya, fatu kanaf (secara harfiah berarti ‘batu nama’). Kelak, ketika mati, mereka akan membawa cap marga ke hadapan Uis Neno (Ilahi) di Gunung Mutis. Menghancurkan batu besar sama halnya dengan melenyapkan identitas marga. Selain itu, batu dipercaya sebagai tempat persemayaman arwah (dikenal dengan istilah fatu bian yang berarti ‘di balik batu’) setelah mereka menyerahkan cap marga kepada Uis Neno. Bagi orang Mollo, batu adalah tulang bumi, jati diri, pijakan kokoh atas karakter, dan penjaga mata air. Bekas mutilasi batu-batu di Naitapan, tulang-tulang itu, kini berceceran di atas tanah.

Hari terakhir saya di Timor dihabiskan bersama para penulis Komunitas Dusun Flobamora di Kupang. Di sana, saya bertemu kembali dengan Eric Lofa, Romo Amanche Frank, Diakon Saddam H.P., Frater Giovanni Arum, Sayyidati Hajar, A.N. Wibisana, dan lain-lain. Keesokan harinya, tanggal 18 November, saya tiba di Bandara Juanda Surabaya pukul setengah delapan waktu Indonesia bagian barat. Suatu saat saya berharap takdir membawa saya kembali ke Timor, berjumpa dengan teman-teman yang telah saya kenal selama satu purnama. (*)

*Royyan Julian, penulis yang tinggal di Pamekasan.