BPNT dan Kemiskinan
BEBERAPA pekan lalu, Kabupaten Sumenep, Madura, Jawa Timur, didera masalah penyaluran Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) yang disinyalir amburadul. Beras yang diberikan kepada masyarakat miskin diduga tidak sesuai aturan dan sebagian lagi tak layak konsumsi alias kualitas berasnya jelek.
Berawal dari dugaan jumlah yang diberikan tidak sesuai. Kasus itu saya ketahui dari berita yang diterbitkan berbagai media online. Dalam laporannya, tepatnya di Kecamatan Pragaan, ada keluarga penerima manfaat (KPM) yang hanya mendapat jatah beras seberat 8,91 dan 9,45 kilogram dari yang semestinya 10 kilogram per KPM. (Koranmadura.com, Jumat, 10 Januari 2020)
Bahkan ada yang lebih sadis lagi, seperti yang terjadi di Desa Pajanangger, Kecamatan Arjasa, Pulau Kangean. KPM yang berhak malah menerima beras diduga palsu. Hal itupun langsung dibenarkan oleh Kepala Desa setempat, Suhrawi. (Koranmadura.com, 15 Januari 2020)
Di media yang sama, Kepala Dinas Sosial (Dinsos), Moh. Iksan, bahkan tak menampik jika dalam penyaluran beras BPNT di Sumenep kualitasnya di bawah standar. Menurutnya, persoalan seperti itu sudah lama terjadi. Namun demikian, hingga saat ini tetap saja begitu. Lalu apa akar masalahnya?
Menurut analisa sederhana penulis, persoalannya ada pada aparat Desa, Pendamping, Kecamatan, Dinsos dan Bank. Mengapa begitu? Sangat jelas bahwa, e-Warong mendapat rekomendasi dari pihak Bank dan Dinas Sosial serta pendamping program yang berkaitan dengan kegiatan penunjukan penyalur BPNT.
Logikanya, tidak mungkin Dinsos dan Bank mengetahui semua posisi calon penyalur BPNT di desa-desa. Kemitraan yang dibangun, pasti telah direkomendasikan oleh aparat Desa, pendamping desa atau bahkan pihak Kecamatan masing-masing. Barulah kemudian Dinsos dan Bank akan melakukan verifikasi dan validasi syarat-syarat yang dibutuhkan untuk menjadi penyalur BPNT.
Artinya, masalah beras yang kualitasnya jelek, atau bahkan ada yang menerima beras tidak sesuai dengan aturan telah ‘dikondisikan’ sedemikian rupa untuk melakukan hal itu. Siapa yang melakukan itu? Bisa saja aparat Desa, Pendamping, Kecamatan, Dinas atau bahkan pihak Bank. Menurut hemat saya, jika tidak karena upaya ‘pengkondisian’ tersebut, e-Warong bakal takut untuk melakukan hal-hal di luar kapasitasnya sebagai pebisnis. Lebih jauh, barangkali bisa saya sebut sebagai ulah mafia.
Lantas siapa mafia itu? Mohon maaf, saya tidak dapat menjabarkan hal itu lebih jauh dan bukan kapasitas saya untuk menelusuri adanya kongkalikong itu. Tapi yang jelas, hal ini telah dikondisikan sedemikian rupa oleh oknum tertentu yang ingin mengambil keuntungan di balik program kemiskinan.
Jika kita lihat, polanya masih sama dengan kasus lawas saat bantuan itu masih disalurkan dalam bentuk tunai, atau rastra (beras sejahtera), sebelum kemudian diganti dengan program BPNT, yakni ada masalah yang terulang-ulang. Jika kita mau terus terang, ada upaya eksploitasi tersistematis bagi mereka keluarga miskin.
Padahal, jika pemerintah ingin memperbaiki tatanan menuju pemerintahan yang baik (Good Goverment) adalah dengan memperbaiki berbagai masalah yang lalu. Jika masalahnya masih sama, rasa-rasanya akan sulit untuk mencapai itu semua. Bak mimpi apabila ingin menjadi pemerintah yang lebih baik, padahal ada masalah berulang-ulang yang hingga saat ini belum bisa diatasi, apalagi ingin mengurangi angka kemiskinan yang terjadi.
Namun demikian, kita tunggu seperti apa gebrakan pemerintah selanjutnya. Sebab, Dinsos telah berulang kali berjanji untuk melakukan evaluasi menyeleruh terhadap persoalan penyaluran BPNT ini. Bahkan Moh. Iksan berjanji untuk menggandeng kepolisian jika nantinya beras yang diduga palsu itu benar adanya. Menarik untuk dinanti seperti apa lanjutan kisah tragis ini. (*)
*Ahmad Fairozi, pendiri Rumah Baca ID.