Arswendo "Si Istimewa" Sastra


DULU
, bocah-bocah di Indonesia diajari keranjingan membaca majalah (Si Kuntjung, Kawanku, Bobo, Ananda) dan buku-buku dari pelbagai penerbit. Masa lalu bergelimang cerita. Pada masa 1980-an, bocah-bocah yang membaca Majalah Kawanku biasa “bersantap” cerita-cerita dari para pengarang tenar. Cerita dianggap pilihan untuk dinikmati bocah. Di Kawanku edisi 13-19 Mei 1983 tersaji alinea: “Dia memang istimewa. Biar diejek, diledek, dibuat tertawaan, ia tetap si Dul. Seperti juga traktor, ia terus jalan, terus melindas, tidak peduli apa yang ada di depannya.” Alinea dalam cerita berjudul Si Dul Istimewa gubahan Arswendo Atmowiloto. Tokoh di cerita adalah Dul, menjadikan diri tokoh panutan bagi anak-anak.

Cerita itu terbaca lagi setelah kita mendapat berita duka bahwa Arswendo Atmowiloto pamitan, 19 Juli 2019. Kita ingin mula-mula mengenang Arswendo adalah pemberi persembahan cerita ke bocah-bocah. Ia termasuk pengarang tangguh bersama Soekanto, Djoko Lelono, Dwianto Setyawan, Mansur Samin, Darto Singo, dan lain-lain. Di kesusastraan anak, Arswendo tercatat di halaman “istimewa”. Ia telah mewariskan buku-buku yang digandrungi bocah: Ito (1973), Anis dan Herman (1974), Mencari Ayah Ibu (1975), dan lain-lain. Pada masa 1980-an, lelaki kelahiran Solo, 26 November 1948 itu sudah tenar.

Di sastra anak, ia memang istimewa meski publik cenderung mengenalinya dari Imung dan Keluarga Cemara. Santapan cerita mengarah ke remaja. Ia memang memikirkan remaja. Perhatian terbesar terasa ketika menggerakkan Hai, majalah yang memunculkan cerita-cerita penting dalam kesusastraan remaja di Indonesia. Di situ, Arswendo menulis cerita, artikel, dan pengantar di rubrik puisi. Ia “terus jalan”, menulis, tak cengeng atau minder gara-gara mendapat ledekan, protes, atau cemooh. Keranjingan menulis itu kebahagiaan. Buku demi buku terbit setelah dimuat di majalah-majalah. Ia memberi bacaan dengan mondar-mandir di majalah dan buku. Dulu, ia pantas menjadi panutan kalangan remaja: berani, rajin, unik, nekat, dan bergairah. Di suguhan bacaan bocah dan remaja, Arswendo memang berhak mendapat tepuk tangan.

Peran berbeda terasa di sastra Jawa. Lahir dan besar di Solo, ia tentu bergaul dengan pengarang-pengarang sastra Jawa. Pindah ke Jakarta untuk bekerja, ia tetap menjalin ikatan dengan para pengarang sastra Jawa di Solo dan pelbagai kota. Ia jadi pemberi tanda seru yang sering menggegerkan dan merepotkan bagi kaum yang ingin “melestarikan” sastra Jawa. Arswendo selaku pengarang dan jurnalis mahir memberi kata-kata yang memicu penasaran.

Di buku berjudul Pabrik Tulisan (1977) dengan editor Mira Sato (Seno Gumira Ajidarma) dimuat artikel Arswendo berjudul Kalau Sastra Jawa Berakhir, Apa Salahnya? Tulisan pendek itu mendapat bantahan dan kemarahan dari penekun sastra Jawa yang ingin subur di masa Orde Baru. Arswendo berlaku sebagai pengamat: kritis dan sinis. Ia meledek: “Sastra Jawa kini tinggal hidup dalam sarasehan. Gambaran ini cenderung memaksa sakit hati, tetapi sejak sarasehan pertama di tahun 1953, hingga akhir Maret 1975 ini, telah banyak sarasehan diadakan dan banyak soal dirumuskan.”

Kita membayangkan Arswendo mengatakan itu sambil mesem cengengesan. Ledekan itu meleset. Sastra Jawa masih ada dan bergerak sampai masa sekarang. Sastra Jawa sudah mulai jarang “sarasehan”, tapi buku. Penerbitan buku-buku sastra Jawa tetap meriah dan terhormat dengan penghargaan Rancage.

Pada masa 1970-an, Arswendo prihatin dengan nasib sastra Jawa akibat ada pembesaran segala hal bercap nasional. Sastra dengan bahasa Jawa agak terpukul. Posisi sulit semakin tampak setelah ada peremehan sastra Jawa mampu bertahan cuma dengan keberlimpahan novel panglipur wuyung alias picisan, sejak masa 1950-an. Pada masa awal Orde Baru, tatanan sosial-politik dan kebijakan-kebijakan pusat agak “mencelakai” sastra Jawa. Celoteh Arswendo: “Apakah ini pertanda bahwa pengarang sastra Jawa sekarang ini adalah pengarang-pengarang terakhir? Dengan hati-hati bisa dikatakan kenyataan ini bukan mustahil. Kecuali tentu saja kalau ada mukjizat andai saja kita menyukai kata ini.”

Pengarang “istimewa” itu menghajar dengan seribu tanda seru, tapi bermisi kebaikan sastra Jawa. Mukjizat terjadi! Arswendo jadi saksi bahwa sastra Jawa belum mati.

“Kalaupun ini masa terakhir pengarang sastra Jawa, apa salahnya?” kata Arswendo. Kritik pedas itu dijawab selama puluhan tahun oleh Suparto Brata dengan menulis puluhan buku dan mengajak para pengarang Jawa mengartikan bahwa sastra itu buku. Kita mengingat gelagat yang membenarkan adanya “mukjizat” itu terbaca di buku susunan Suparto Brata berjudul Jatuh Bangun Bersama Sastra Jawa (1981). Ingat, sastra itu buku, bukan sarasehan atau majalah saja.

Pada 2019, sastra Jawa masih bergerak dan menemukan penghidupan baru gara-gara kegirangan zaman digital. Celotehan Arswendo pernah memicu marah, tapi menjadi tanda atas kemauan terus memberi perhatian ke sastra Jawa sampai abad XXI. Di acara kongres sastra Jawa dan obrolan di pelbagai komunitas, suara-suara Arswendo terus mendapat tanggapan. Ia berada di kancah sastra Jawa, tak cuma berlaku menjadi “traktor”, tapi “agitator” dengan sekian kelucuan dan hikmah.

Mari berlanjut atau “terus jalan” ke penggubahan cerita-cerita memikat oleh pengarang yang sering tertawa dan menantang itu. Arswendo memang pencerita sakti mandraguna! Orang-orang menggemari dan menemukan pikat di buku-buku garapannya. Buku yang ramai pujian adalah Senopati Pamungkas. Sejak 1986-1989, buku itu mendapat ribuan pembaca. Laris! Orang-orang bergirang dengan keseruan cerita silat, cerita yang memiliki rangsang menengok sejarah dan penemuan heroisme. Arswendo “bersilat” kata dan imajinasi, memberi bacaan “sakti”, berharap awet sepanjang masa. Buku itu menemukan jalan besar, setelah dimuat dulu di Majalah Hai (1984).

Kita ingin mengingat si pencerita dan siasat pengiklanan buku yang menggoda publik. Di Majalah Hai edisi 7-13 Februari 1989, pembaca bertemu iklan Senopati Pamungkas. Tampilannya seru. Deskripsi buku, tokoh, dan jajaran sampul buku memastikan ada bujukan ke pembaca agar lekas membeli dan mengoleksi. Penjelasan di alinea awal: “Cerita silat mudah memikat. Menjerat perhatian dan membuat kecanduan. Namun keunggulan buku ini, bukan karena jilid kelima cetak ulang ketiga dan jilid dua belas cetak ulang kedua, sementara jilid dua puluh empat telah tamat, dan di saat itu film dengan judul sama serentak diproduksi.”

Sebuah deretan pengumuman mencengangkan atas nasib penerbitan buku Senopati Pamungkas. Penerbit perlu melaporkan itu untuk semakin memberi “kepastian” bagi calon pembeli dan pembacanya. Iklan itu juga memiliki kalimat-kalimat mengesankan: “Senopati Pamungkas, bukan hanya pantas dibaca untuk mengagumi kebesaran kisah tradisi yang berbau tanah dan air sawah Indonesia, atau pengisi perpustakaan. Lebih dari itu, bisa untuk kado, bingkisan yang mencerminkan keluasan wawasan budaya pengirim dan penerimanya. Rasa aman sebagai bacaan keluarga, rasa bangga ajaran tradisi yang luhur dan sakti, kebesaran sebagai mahamanusia, sikat ksatria, lelananging jagad, menjadi menggeliat kembali karena justru yang ada tokoh seperti Halayudha, dalam kehidupan masa kini.”

Pembuat kalimat-kalimat itu pasti pembujuk ampuh, mahir kata, dan khatam nalar pemasaran.

Kenangan yang juga tak boleh luput adalah novel berjudul Canting (1986). Arswendo mengabadikan Solo dalam novel berselera Jawa. Tahun demi tahun, Canting terus cetak ulang dan digarap menjadi sinetron. Sejak menjadi penulis buku cerita anak sampai novel “serius”, Arswendo tetap “istimewa” dan mendapat penggemar (baru) yang terus bertambah. Pada usia tua sebelum pamitan, kita mulai melihat lagi novel-novel gubahan Arswendo cetak ulang dengan kemasan dan sampul baru. Di rak, kita melihat buku-buku itu sebagai pembuktian ketekunan bersastra sambil tertawa dan berani berada di situasi perdebatan berkepanjangan.

Kini, kita perlu meniru –meski harus membuat perhitungan berbeda– saat kesusastraan Indonesia mutakhir mulai “jemu” dengan perdebatan bermutu atau lupa cengengesan. (*)

*Bandung Mawardi, kuncen Bilik Literasi Solo.


Sumber: detik.com