Korupsi di Daerah, Mulai Utang Proyek Hingga Cara Menanggulanginya


KPK meraih rekor terbanyak operasi tangkap tangan (OTT) selama 2018. Paling banyak dibanding tahun-tahun sebelumnya. Sebanyak 30 OTT dilaksanakan dengan 28 kepala daerah yang terlibat. Di satu sisi prestasi tersebut patut disyukuri karena membuktikan KPK bisa berperan dengan baik dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Namun, di sisi lain, hal itu sangat memprihatinkan karena menegaskan penyakit korupsi belum bisa diberantas. Bahkan semakin mewabah di Indonesia.

Dari OTT KPK dan pengusutan lainnya memperlihatkan bahwa korupsi terjadi di semua bidang kegiatan, baik politik, ekonomi, sosial, budaya, pendidikan, dan lainnya. Korupsi terjadi di pemerintah pusat, daerah, BUMN, dan swasta. Korupsi juga menjerat pejabat pemerintah, DPR, jaksa, hakim, polisi, dan pengusaha. Jika semua sudah korupsi, masih adakah asa untuk menanggulanginya?

Tentu, tidak boleh ada kata menyerah dalam melawan korupsi. Satu kata: “lawan!” adalah penggelora untuk membasmi korupsi.

Harus diakui sistem politik di Indonesia membuka peluang sangat lebar terjadinya kolusi dan korupsi antara aktor politik dengan pengusaha. Kontestasi politik untuk memenangkan pemilu, pilkada, pileg, dan jabatan-jabatan lainnya membutuhkan biaya politik sangat besar. Dengan sistem seperti itu, terjadilah kolaborasi aktor politik dan pengusaha. Aktor politik butuh uang dan pengusaha menyediakannya dengan imbalan kemudahan dalam bisnis, serta berbagai proyek yang bisa dikerjakan. Tidak heran jika banyak kepala daerah terjerat KPK terkait dengan proyek-proyek pemerintah yang diberikan kepada pengusaha lewat prosedur yang menyalahi aturan.

Utang Proyek

Saat ini ada modus korupsi baru yang belum banyak diketahui oleh aparat penegak hukum (APH). Modus tersebut bisa dilihat dari laporan keuangan pemerintah daerah (pemda) berupa pos utang kepada swasta dengan nilai puluhan hingga ratusan miliar rupiah.

Setelah ditelusuri, ternyata utang proyek itu berasal dari sejumlah proyek yang dikerjakan dulu oleh swasta dan pemda baru membayar dengan APBD tahun berikutnya. Akhirnya, terjadilah praktik lapping, utang proyek tahun ini dibayar dengan APBD tahun berikutnya, demikian seterusnya.

Dalam pengelolaan keuangan daerah ada aturan tidak boleh melakukan kegiatan yang menimbulkan beban jika tidak ada anggarannya. Aturan ini disiasati dengan kolusi antara oknum pejabat pemda dengan oknum DPRD dalam proses penganggaran. Caranya dengan menggelembungkan pendapatan asli daerah (PAD) sehingga seolah-olah pemda cukup memiliki dana untuk membiayai belanjanya. Padahal, PAD tersebut hanya akal-akalan yang tidak mungkin tercapai.

Dengan cara seperti itu, rencana belanja dalam bentuk proyek-proyek bisa dianggarkan karena tersedia dana yang berasal dari PAD. Siapa yang akan mengerjakan proyek sudah diatur antara oknum pejabat pemda dengan anggota DPRD. Pada akhir tahun, ketika realisasi PAD tidak tercapai maka timbullah utang proyek tersebut. Dengan akal-akalan APBD, utang tersebut dibayar ketika Dana Alokasi Umum (DAU) atau Dana Alokasi Khusus (DAK) yang berasal dari transfer pemerintah pusat bisa dicairkan.

Kongkalikong seperti itu menjadi praktik yang mulai jamak di pemda saat ini. Jika dalam laporan keuangan pemda ada utang proyek kepada pihak swasta dengan jumlah yang signifikan hampir pasti ada korupsi di situ.

Pengawasan yang lemah dalam kegiatan pemda juga menyuburkan praktik korupsi. Hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) membuktikan bahwa berbagai proyek di dinas pekerjaan umum, dinas kesehatan, dinas pendidikan, dan sekretariat daerah menjadi tempat yang subur terjadinya korupsi. Umumnya terkait dengan proyek infrastruktur serta pengadaan barang dan jasa. Lelang dilaksanakan dengan melanggar aturan atau pelaksanaan pekerjaan tidak sesuai dengan spek.

Semua itu terjadi karena pengawasan yang lemah dari inspektorat daerah yang notabene tidak independen berhadapan dengan kepala daerah. Integritas dari pejabat daerah juga banyak yang lemah.

Penanggulangan

Demikian parah praktik korupsi sebagai dampak dari sistem politik yang berjalan. Oleh karena itu, evaluasi mendasar harus dilakukan untuk memperbaiki sistem politik tersebut. Sistem politik berbiaya tinggi harus dikoreksi.

Selain itu, penegakan hukum harus memberikan efek jera. Sanksi hukum kepada koruptor harus diperberat berupa masa penahanan yang lebih lama dan pencabutan hak politik. Jangan seperti sekarang, koruptor masih bisa tersenyum karena menjalani masa hukuman yang relatif ringan, bahkan bisa kongkalikong dengan oknum petugas penjara agar bisa menikmati fasilitas layaknya orang bebas.

Pengawasan kegiatan pemda harus diperkuat melalui sinergi antara inspektorat daerah dengan BPK sebagai pemeriksa eksternal. Hasil pengawasan inspektorat dilaporkan kepada BPK untuk ditindaklanjuti dalam pemeriksaan BPK. Jika ada penyimpangan pasti tidak akan lolos dari pemeriksaan BPK. BPK juga perlu membina inspektorat agar makin berkualitas dan bersama-sama bersinergi menanggulangi korupsi di pemda.

APH harus lebih jeli dalam meneliti kegiatan-kegiatan pemda. Dengan memanfaatkan laporan BPK, APH bisa memperoleh banyak temuan yang berindikasi korupsi. Temuan BPK tentang kegiatan yang tidak sesuai aturan, tidak ekonomis, tidak efisien, dan tidak efektif merupakan tanda-tanda terjadinya korupsi. Adanya utang proyek kepada swasta juga indikasi korupsi. Semua pertanda itu bisa didalami melalui konsultasi dengan BPK.

BPK dan APH bisa mengaktifkan masyarakat untuk ikut berperan menanggulangi korupsi yang terjadi di daerahnya. Masyarakat harus didorong untuk sadar melaporkan indikasi korupsi kepada BPK dan penegak hukum. Bagi laporan masyarakat yang terbukti, maka pelapor bisa diberikan penghargaan dari BPK dan APH. Tentunya, kerahasiaan dan keamanan pelapor harus dijunjung tinggi.

Dalam praktik audit, pelibatan masyarakat dalam audit banyak dilakukan di negara lain, seperti Korea Selatan dan Pilipina. Pelibatan seperti itu disebut dengan participatory audit. Rakyat terlibat dalam audit sebagai pemberi informasi atau menjadi anggota tim audit.

Tidak bisa tidak, segala upaya untuk menanggulangi korupsi harus dilakukan, termasuk korupsi di pemerintah daerah. Amanah konstitusi sudah jelas, uang negara harus dikelola dengan terbuka dan bertanggung jawab, serta dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Oleh karena itu, jangan pernah menyerah untuk melawan korupsi. (*)

*Gunarwanto, praktisi audit dan anggota Komite Profesi Akuntan Publik.


Note: Opini ini telah diterbitkan di detik.com dengan judul ‘Melawan Korupsi di Pemerintah Daerah’ pada Kamis, 3 Januari 2019.