Darurat Literasi Media?


Salah satu problem di tengah masyarakat kita yang “mabuk digital” saat ini adalah minimnya literasi media. Lebih spesifik lagi adalah kekurangpahaman masyarakat umum, untuk membedakan mana berita yang berkualifikasi jurnalistik dan mana yang tidak. Minimal, seperti itulah kasus yang berkali-kali saya temui.

Di hadapan publik, segenap informasi dianggap sama derajatnya, dan dianggap sama pula perlakuan atasnya. Barulah kemudian publik menyaringnya dengan kecerdasan dasar yang dimiliki, dengan pengetahuan umum yang dipunyai, atau seapes-apesnya dengan preferensi politik yang diikuti.

Kemarin, saya menyimak ada satu berita dari sebuah media tentang Reuni 212. Dalam badan berita itu dituliskan dua materi pokok. Pertama, Habib Rizieq Syihab mengajak agar umat Islam menolak capres pembela penista agama. Kedua, Rizieq bertanya, “Siapkah kalian mendukung capres pilihan ijtima’ ulama?”

Kemudian, berbekal dua unsur materi yang saya sebutkan itu, judul berita dituliskan: Habib Rizieq Mengajak Umat Islam Pilih Capres Hasil Ijtima’ Ulama.

Dalam sebuah obrolan medsos, saya mengatakan bahwa ada shortcut dalam penulisan judul berita tersebut. Dalam badan berita di sana tidak disebutkan bahwa Rizieq mengucapkan kalimat semacam, “Ayo kita mendukung capres pilihan ijtima’ ulama!” Tidak ada kalimat seperti itu. Yang disajikan ya cuma dua hal tadi: bahwa Rizieq mengajak agar umat menolak capres yang so called pembela penista, dan bahwa Rizieq bertanya apakah umat siap mendukung capres pilihan ijtima’ ulama.

Ketika saya mengungkapkan pendapat terkait shortcut judul berita tersebut, beberapa kawan tidak sepakat. “Lho, faktanya di lapangan memang Rizieq mengajak untuk memilih capres sesuai ijtima’ ulama kan? Dan semua juga tahu, siapa itu yang dimaksud? Prabowo kan? Siapa lagi? Lalu di mana shortcut-nya?”

Tentu saja saya pribadi paham dan menangkap dengan terang-benderang bahwa yang dimaksud oleh Rizieq Syihab jelas-jelas Prabowo. Namun, yang sedang kita hadapi adalah sebuah produk jurnalistik, bukan sekadar obrolan pos ronda. Dengan berbekal logika common sense bahwa yang dimaksud Rizieq adalah Prabowo, kita sebagai pembaca tentu saja boleh menafsir demikian. Tapi, tidak serta merta sebuah media berhak menuliskan nama Prabowo, misalnya, ketika Rizieq sebagai sumber yang dikutip tidak secara jelas menyatakan nama itu.

Jadi, meskipun semua orang paham maksud kontekstualnya, akan haram secara jurnalistik apabila media itu menjuduli beritanya, misalnya dengan: “Habib Rizieq Mengajak Umat Islam Pilih Prabowo”.

Di lapangan, dalam berbagai laporan lain memang disebutkan bahwa Rizieq Syihab lewat siaran video mengucapkan secara tegas ajakan untuk memilih capres pilihan ijtima’ ulama. Namun, dalam berita yang saya bahas tersebut, bagian itu tidak disebutkan sama sekali. Artinya, jelas ada keterputusan alias ketidaksinkronan antara materi berita yang disajikan dengan judul yang dibuat.

Lalu, kenapa banyak orang tidak sepakat bahwa media yang saya baca itu menempuh sebuah jalan pintas proses pembuatan judul?

Saya kira penyebabnya sangat lazim, yaitu secara umum publik memang tidak mendapatkan pendidikan dasar jurnalistik, juga pengetahuan dasar tentang etika jurnalistik.

“Ah, situ lebay. Buat apa semua orang belajar jurnalistik? Toh profesi orang beda-beda. Kamu penulis, nyatanya juga nggak belajar arsitektur macam profesiku. Aku juga nggak perlu belajar linguistik kan? Kita jalan sendiri-sendiri, yang penting rukun, nggak perlu sok yes merasa profesi kita lebih penting dibanding profesi lain. Gitu kan?”

Betul, di satu sisi itu sangat betul. Tapi begini. Ambillah contoh, kita semua ini pengguna obat-obatan alias produk farmasi. Dalam belantara konsumtivisme, kita harus membekali diri dengan pengetahuan dasar tentang farmasi, atau minimal paham membaca komposisi bahan yang tertera pada kemasan luar sebuah produk obat. Kalau ada zat yang keras dalam obat yang akan kita tenggak, kita dituntut untuk paham dulu bahwa bahan itu keras dan berisiko. Tidak cocok untuk ibu hamil, tidak cocok untuk pengidap asma, mengandung alkohol, dan sebagainya. Itu contoh kecilnya.

Nah, saya rasa perlakuan kita atas barang-barang konsumsi sangat diskriminatif. Kita paham bahwa obat-obatan, makanan-minuman dalam kemasan, juga kosmetik adalah barang konsumsi. Sementara itu, kita mengabaikan kenyataan bahwa ada satu barang konsumsi yang kita santap dengan sangat rakus setiap hari, yaitu informasi.

Ya, informasi adalah barang konsumsi. Setara dengan obat-obatan. Meminum obat yang benar bisa membuat badan kita sehat, salah minum obat bisa bikin keracunan. Membaca berita yang benar bisa membuat otak kita cerdas dan waras. Bagaimana dengan salah informasi? Bukankah itu juga bisa bikin kita keracunan, bahkan kesetanan? Hahaha.

Namun, publik di negeri kita rasanya tidak mendapatkan bekal yang cukup untuk keamanan dan keselamatan diri, agar bisa memilih mana informasi yang layak santap dan mana yang tidak, juga mana informasi yang penuh tendensi dan mana yang tidak.

Tidak semua orang harus belajar jurnalistik secara serius, itu jelas sekali, sebagaimana tidak semua orang wajib kuliah di Fakultas Farmasi. Meski demikian, ada tuntutan pengetahuan minimal yang semestinya menjadi bekal bagi publik di zaman banjir bandang informasi agar bisa menjaga dan menyelamatkan masing-masing diri.

Masalah sekecil pembuatan judul tampaknya remeh. Namun, judul-judul berita di media daring sekarang ini rentan jatuh sekadar menjadi metode klikbait, juga menjadi alat framing alias pembingkaian.

Oke, jika problem penjudulan berita dirasa kurang meyakinkan sebagai dasar asumsi minimnya literasi media, saya masih punya contoh lainnya.

Beberapa kali, saya berkumpul dengan para anak muda dalam forum-forum diskusi, baik diskusi tentang kepenulisan maupun tentang dunia digital. Meskipun mereka bukan jenis anak muda apatis atau dari kalangan yang kekurangan akses informasi, ternyata banyak sekali yang tidak paham syarat kelengkapan sebuah berita sebagai sebuah produk jurnalistik.

Bayangkan, tentang 5W + 1H, juga tentang cover all sides, mereka tidak pernah mendengarnya sama sekali. Ini beneran.

Dari situ, saya membayangkan lebih jauh. Jika tentang syarat sehatnya sebuah berita saja mereka tidak tahu-menahu, lantas bagaimana mereka menyikapi berita-berita di media daring yang mereka konsumsi? Pada zaman ini, bagi media-media daring, sangat sulit untuk menjejalkan keseluruhan unsur pelengkap itu ke dalam satu badan tulisan. Semua berebut adu cepat, juga adu ringkas, sehingga unsur-unsur kelengkapan berita tadi dipecah ke dalam beberapa unggahan.

Jika anak-anak muda itu paham tentang syarat kelengkapan berita, tentu mereka tidak akan puas hanya dengan membaca satu unggahan viral, jika dalam tautan berita tersebut unsur-unsur yang dibutuhkan belum tersaji sepenuhnya. Namun, karena tidak paham, akibatnya ya mereka akan merasa baik- baik saja hanya dengan membaca sebagian sisi. Adapun sisi lainnya terbang entah ke mana, dan mereka tidak berusaha mencarinya. Kira-kira begitu.

Dengan situasi yang mewabah sedemikian, akibatnya bisa melebar ke mana-mana. Salah satunya adalah publik tidak punya cukup kemampuan untuk membedakan antara informasi produk pers dan bukan produk pers. Walhasil, mereka banyak yang tanpa sadar lebih memilih melabuhkan harapan “pencerahan” kepada informasi-informasi liar non-pers, misalnya bisikan-bisikan siluman dari rimba raya media sosial.

Kenapa begitu? Ya karena memang tidak ada kemampuan yang inheren dalam diri publik untuk membedakan antara informasi yang layak santap dan yang tidak layak santap. Informasi adalah informasi. Titik. Ditambah lagi, ketidakpercayaan publik kepada media-media pers semakin memuncak karena banyak media terlibat dalam keberpihakan telanjang kepada kubu-kubu politik.

Nah, semua keruwetan itu kian sempurna dengan kemampuan media sosial untuk menyusup secara sangat lincah ke relung-relung sempit perbincangan publik. Nyaris tidak ada kontrol yang kuat dalam dunia media sosial selain UU ITE, itu pun masih jauh lebih banyak yang tidak terkontrol ketimbang yang berhasil dikontrol.

Dalam situasi gelap seperti ini, sependek yang saya tahu tidak ada materi literasi media ataupun sekadar ilmu jurnalistik dasar dalam kurikulum pendidikan di sekolah-sekolah. Belum pernah saya mendengar hal-hal demikian dibahas dalam pelajaran Bahasa Indonesia, misalnya. Materi pelajaran Teknologi Informasi pun lebih dititikberatkan pada bagaimana cara menggunakan alat-alat, alih-alih bagaimana menata paradigma dalam menyikapi produk yang dihasilkan oleh alat-alat tersebut.

Literasi media pada zaman sekarang ini sudah menjadi sebentuk life skill wajib yang akan sangat menentukan kualitas sumber daya manusia. Ia harus disediakan sebagai bagian dari hak warga negara atas pendidikan. Saya berdoa, semoga pemerintahan yang terpilih tahun depan secara sangat serius mau memikirkannya, dan menindaklanjutinya dengan langkah-langkah nyata.

Anda setuju dengan doa saya? Ketik “Amin”! (*)

*Iqbal Aji Daryono, esais, tinggal di Bantul, Yogyakarta.


Sumber: detik.com