4 Tipe Manusia dalam Konsep Kehidupan
MANUSIA merupakan makhluk ciptaan Allah paling sempurna (QS. At-Tin: (95); 4). Dalam diri manusia terdapat soft system yang memiliki fungsi yang berbeda, yaitu nafsu yang menimbulkan keinginan-keinginan untuk memuaskan kebutuhan rohani dan jasmani. Selanjutnya akal yang memiliki fungsi kognisi untuk memperhatikan, menahan, dan memikirkan fenomena yang ditangkap panca indera sehingga dapat menuangkan ide gagasannya. dan Qalbu (Hati) yang memiliki kemampuan menimbang sehingga dapat menerima atau menolak, maka hati menjadi sentral system yang dapat mengendalikan perilaku seseorang untuk menjadi orang baik atau buruk “Sesungguhnya dalam diri manusia terdapat segumpal daging (Hati). jika gumpalan daging itu bagus maka akan baguslah seluruh anggota tubuh. Jika gumpalan daging itu rusak maka akan rusak pula seluruh anggota tubuh”. (HR. Bukhari).
Apabila ketiga sistem tersebut berfungsi dengan sinergis tentu akan menjadikan seseorang mencapai kemuliaan. Namun tidaklah demikian, manusia yang satu dengan lainnya berbeda dalam memfungsikan sistem akal, nafsu, dan hatinya sehingga melahirkan tipe-tipe manusia yang berbeda. Dalam hal ini setidaknya ada empat macam tipe manusia.
Pertama ada manusia yang hidupnya diperuntukkan pada materi saja, atau istilah lain menyebutnya manusia Reptilia. Tampak jelas Allah menggambarkan manusia tipe ini dalam Alquran:
مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لَا يُبْخَسُونَ () أُولَٰئِكَ الَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِي الْآخِرَةِ إِلَّا النَّارُ ۖ وَحَبِطَ مَا صَنَعُوا فِيهَا وَبَاطِلٌ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
Artinya: Barang siapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya kami berikan kepada mereka balasan penuh atas pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia tidak akan dirugikan. itulah orang-orang yang tidak memperoleh sesuatu di akhirat kecuali neraka, dan sia-sialah disana apa yang telah mereka usahakan di dunia dan terhapuslah apa yang telah mereka kerjakan (QS. Hud: (11); 15-16).
Syeh Ahmad Musthofa Al Maroghi menjelaskan, apabila keinginan manusia sebatas pada keduniaan, bahkan hanya ingin menikmati kelezatan-kelezatan dunia saja tanpa adanya iman kemudian Allah memberikannya, maka ini merupakan bentuk Istidroj Allah pada mereka.
Tipe kedua, adalah manusia yang menggunakan hidupnya untuk beribadah secara individual dan mengesampingkan ibadah sosialnya. Ibadah individual disebut juga dengan kesalehan ritual. Ia hanya mementingkan ibadah yang semata-mata berhubungan dengan Tuhan dan kepentingan diri sendiri. Sementara pada saat yang sama mereka tidak memiliki kepekaan sosial, dan kurang menerapkan nilai-nilai islami dalam kehidupan bermasyarakat. Pendek kata, kesalehan jenis ini ditentukan berdasarkan ukuran serba formal, yang hanya hanya mementingkan hablum minallah, tidak disertai hablum minan nas.
Ketiga, selanjutnya ialah manusia yang mampu menyeimbangkan antara urusan dunia dan akhiratnya Karena itu, kriteria kesalehan seseorang tidak hanya diukur dari seperti ibadah ritualnya shalat dan puasanyanya, tetapi juga dilihat dari sosialnya, berupa kasih sayang pada sesama, sikap menghargai hak orang lain, cinta kasih, penuh kesantunan, harmonis dengan orang lain, memberi dan membantu sesame dan selalu menjaga lisannya agar tidak menyakiti orang lain.
Dalam sebuah hadis dikisahkan, bahwa suatu ketika Nabi Muhammad SAW mendengar berita tentang seorang yang rajin shalat di malam hari dan puasa di siang hari, tetapi lidahnya menyakiti tetangganya. Apa komentar nabi tentang dia, singkat saja, “Ia di neraka,” Kata nabi. Hadis ini memperlihatkan kepada kita bahwa ibadah ritual saja belum cukup. Ibadah ritual mesti dibarengi dengan kesalehan sosial.
Keempat, adalah tipe manusia yang tak punya tujuan hidup, kehilangan arah seakan-akan ‘hidup segan matipun tak mau’. sungguh malang nasibnya, hidup di dunia sengsara karena ia lupa pada dirinya, dan ia juga lupa pada tuhannya. “Mereka (jin dan manusia) punya hati tetapi tidak dipergunakan untuk memahami (ayat-ayat Allah), punya mata tapi tidak dipergunakan untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), punya telinga tapi tidak mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka (manusia) yang seperti itu sama (martabatnya) dengan hewan bahkan lebih rendah (lagi) dari binatang”. (QS. Al-A’raf: (9); 179) (*)
*Firman Filani, Lahir di Situbondo 23 Februari 1993. Mulai menghafal Alquran di Padepokan Tahfidzul Qur’an (PTQ) Ibnu Rusydi Tahun 2012 sambil melanjutkan kuliah S1 di STIT UW Jombang dan lulus tahun 2016. Pada tahun 2017 mendapatkan Beasiswa Pasca Tahfidz di Pusat Study al-Qur’an (PSQ) Jakarta yang di asuh oleh Prof. Quraish Shihab. Saat ini mengabdi di PTQ Ibnu Rusydi dan melanjutkan Study di Pasca Sarjana Unhasy Tebuireng Jombang.