Harta Kekayaan


KAMIS,
4 Oktober 2018 lalu, Spesialis Pendaftaran dan Pemeriksaan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) datang ke Sumenep. Rupanya, kedatangan mereka ke Kabupaten paling ujung timur pulau Madura ini bukan tanpa sebab. Tak lain adalah untuk melakukan sosialisasi dan memastikan para pejabat negara melakukan pelaporan harta kekayaan sesuai aturan yang berlaku ke KPK.

Sebanyak 43 dari 50 Anggota DPRD setempat belum menyetorkan LHKPN kepada KPK. “Untuk DPRD-nya baru 7 dari 50 anggota yang melaporkan LHKPN ke KPK,” kata Andika Widiarto saat memberikan pernyataan kepada media. (koranmadura.com, Kamis, 4 Oktober 2018)

Mestinya, kata dia, pelaporan LHKPN itu maksimal sejak 31 Maret 2018 lalu. “Sebenarnya ini sudah terlambat, namun kami masih memberikan kesempatan untuk melaporkan tahun ini hingga 31 Desember nanti,” jelasnya, melanjutkan.

Sementara menurut Sekretaris Dewan, Moh. Mulki, dari 43 anggota dewa yang belum menyerahkan LHKPN kepada KPK, tiga diantaranya adalah pimpinan dewan. “Untuk tingkat pimpinan masih satu yang melaporkan,” katanya.

Padahal, sejak tahun 2018, pelaporan itu sudah melalui sistem online. Sehingga semua anggota dewan bisa melakukan sendiri melalui email masing-masing anggota. Laporan itu dilakukan setiap tahun sekali. “Di sini juga ada operator yang siap membantu bilamana ada kesulitan,” tegasnya, menyatakan.

Sementara dari aparat pemerintahan, dari total 38 orang yang wajib lapor, 12 orang diantaranya masih belum melaporkan harta kekayaan. “Kalau dari Pemerintah Kabupaten Sumenep ada 12 orang yang belum melaporkan dari 38 orang yang wajib lapor,” kata Spesialis Pendaftaran dan Pemeriksaan LHKPN KPK, Andika Widiarto usai berkunjung ke Sumenep.

KPK melanjutkan, akan memberikan sanksi tegas bagi anggota DPRD yang tidak menyetorkan LHKPN. Salah satu sanksi terberat bisa digugurkan menjadi anggota dewan. Sanksi itu berlaku bagi anggota DPRD aktif yang terpilih kembali pada Pemilihan Umum (Pemilu) 2019.

“Sesuai PKPU (peraturan komisi pemilihan umum) yang baru, jika anggota dewan yang terpilih lagi dan tidak melaporkan (LHKPN) tidak bisa dilantik,” urainya, sembari menegaskan ancaman yang akan didapat jika anggota dewan tak menyerahkan LHKPN.

Kewajiban pejabat dan anggota dewan melaporkan harta kekayaannya tersebut tertuang dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi Dan Nepotisme.
Selain itu, UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pindana Korupsi dan Peraturan KPK Nomor: 07 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pendaftaran, Pengumuman dan Pemeriksaan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara.

Ironisnya, daerah yang menjadi sasaran sosialisasi LHKPN oleh KPK adalah daerah yang masuk kategori rendah dalam melaporkan harta kekayaan. Itu artinya, Sumenep masuk salah satu kabupaten dengan tingkat kepatuhan menyetorkan LHKPN yang rendah.

Patut dicurigai, ada apa dengan pejabat negara yang tak kunjung melakukan pelaporan harta kekayaan yang mereka miliki. Apakah karena mereka berusaha untuk menutup-nutupi kekayaan yang mereka miliki secara tidak sah.

Semua itu hanya spekulasi. Tidak ada bukti jika mereka berusaha ‘menghilangkan’ kekayaan yang mereka miliki untuk tidak diketahui orang. Padahal, mereka adalah seorang pejabat negara yang secara hukum telah diatur jika berkaitan dengan harta kekayaan, adalah hal yang perlu diketahui oleh masyarakat.

Artinya, anggota dewan dan pejabat negara tak perlu mengajarkan masyarakat untuk selalu menjaga rahasia. Karena rahasia paling agung di muka bumi hanya milik tuhan semedta alam. Wallahu A’lam.. (*)

*Ahmad Fairozi, Pendiri Rumah Baca Indonesia (Rumah Baca ID).