Bendera, Kalimat Tauhid dan Tempurung Jahat
INSIDEN pembakaran bendera Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) oleh oknum Banser di Garut-Jawa Barat bertepatan dengan peringatan Hari Santri Nasional (HSN) sontak menjadi isu nasional, terutama di jagat maya.
Terang betul, karena Presiden RI yang meresmikan HSN tiga tahun silam, ia juga sering bersilaturrahmi ke Pesantren-pesantren dan memang lebih sering sarungan, pendek kata, Presiden sudah semakin santri. Yang belum terang adalah, mengapa bendera HTI berkibar di tengah gegap-gempita HSN? Tak hanya berkibar, ia juga pasti berkabar akan satu hal, dan lantas membuat kita semua berkobar.
Adakah ini murni peristiwa pembakaran atau ada meta-peristiwa dan intrik politik yang beraroma provokasi dengan bumbu-bumbu membenturkan Santri, Banser, NU, Kepolisian dan ormas-ormas lainnya? Siapa tukang kompor dan tukang kipas di balik ini semua? Sekalian kita tunggu tukang sabun dari peristiwa ini. Tiga jenis “tukang” yang saya sebutkan di atas jumlahnya kian masif belakangan ini.
“Kalimat tauhid sengaja dibakar Banser! NU harus bertanggung jawab! Ini penistaan agama dan pelecehan terhadap 1,8 milyar umat Islam! Polisi harus segera mengusut! Negara tidak boleh memihak! Bubarkan Banser, bekukan NU!”, lebih-kurang teriakan-teriakan provokatif dari tempurung-tempurung jahat semacam ini akan menghiasi media-media (elektronik dan cetak) beberapa hari ke depan, bahkan hingga Pilpres nanti.
Namun demikian, benarkah Banser membakar kalimat tauhid? Bisakah manusia merendahkan Tuhan yang Mahatinggi? Bisakah manusia meludahi langit? Sama sekali tidak, Banser tidak membakar kalimat tauhid, yang dibakar adalah bendera organisasi terlarang yang menolak Pancasila dan merongrong kedaulatan Negara.
Sama halnya jika Anda membakar bendera PKI, apakah itu berarti Anda membakar palu, arit, semangat pertanian dan perkebunan, semangat marhaenisme dan sosialisme? Saya kira, nyaris setiap muslim pernah membakar Al-Qur-an, terutama yang sudah lapuk dan bolong-bolong, hal ini justru untuk memuliakan Kitab Suci, agar tidak terinjak-injak dan tergeletak di sembarang tempat. Bukankah seluruh Hadits Nabi pernah dibakar Khalifah Umar ra lantaran beliau pernah mendengar sabda Nabi, “jangan kalian tulis apapun dariku kecuali Al-Qur’an”. Ini jelas bahwa sayyidina Umar tidak membakar Hadits, malah menggagungkannya. Beliau melakukan itu semata agar proses kodifikasi Al-Qur’an tidak bercampur teks yang lain, sebab tempurung-tempurung jahat mengintai di nama-nama. Satu lagi, bukankah Nabi Muhammad saw juga pernah membakar masjid? Salahkah Nabi?
HTI dan tempurung-tempurung jahat yang menungganginya telah lama mengincar skenario ini. Hanya dengan skenario-skenario murahan macam ini simpatik pada HTI akan bisa digoreng sedemikian rupa. Ini pekerjaan para tengkulak politik dan makelar kekuasaan untuk merongrong kedaulatan NKRI. Terutama karena ini memang tahun-tahun politik, penuh gorengan dan intrik.
HTI itu bukan agama, ia tak berhak mengatasnamakan agama dalam setiap propagandanya. Mari berpikir jernih, mengapa banyak saudara kita yang tidak bisa membedakan mana kedelai mana tempe, mana agama mana keagamaan, mana putih mana keputihan? Islam itu ibarat kedelai, Banser dan NU itu ibarat tempe, artinya, ia adalah kreatifitas canggih umat Islam Nusantara yang diolah dari “kedelai” sebagai sumber dan bahan dasarnya. Nah, HTI itu apa? Ia adalah ampas dari ampas dari ampasnya ampas “tempe” yang dipoles seolah-oleh “kedelai asli” oleh tempurung-tempurung jahat dan anehnya diterima oleh mereka yang otaknya cingkrang, nalarnya sempit, moralitasnya banal, mereka memekik takbir di jalanan bukan untuk menggagungkan Tuhan, tapi justru menghina dan menyepelekan Tuhan dengan memperjualbelikan agama demi kekuasaan dan selangkangan politik.
Mereka, para tempurung jahat itu sengaja dan memang cari makan di sana, untuk terus membenturkan NU dengan Negara, dengan ormas lain, bahkan dengan sesama Nahdliyyin dengan terus menebar kebencian dan fitnah. HTI memang bubar, tapi para penunggang dan pemegang remotenya akan tetap ada, ia akan tetap dipoles, diplintir dan dijual dengan isu-isu SARA.
Hingga saat ini, para ahli (filsafat) komunikasi sependapat bahwa penggunaan emosi dan kebencian memang sangat mudah menyulut provokasi, pertengkaran, dan akhirnya bisa menimbulkan malapetaka (inter)nasional.
Tokoh propaganda komunis dari Rusia bernama Anatoly Lunacharsky (1875-1933 M), seorang revolusioner Marxis dan komandan Rakyat Soviet Bolshevik pertama, mengatakan, “Singkirkan sejauh mungkin kata-kata penuh kasih, gunakan kebencian. Hanya dengan kebencian, kita menguasai dunia!”
Rupanya metode yang digunakan dalam agitasi komunisme itu belakangan digalakkan kembali oleh tempurung-tempurung jahat dengan politik identitas sebagai modal utama dan agama sebagai kendaraannya, bahkan kini cuma dengan bendera. Nah, bagaimana melawan syiar mereka? Dengan tidak menjadi seperti mereka, dengan tetap menjaga kewarasan dan merekat kebinekaan. Indonesia ini didoakan sang Nabi, disujudi para Wali, ditangisi para Kiai dan terus dirawat oleh para Santri. Siapa datang mengancam, akan binasa! (*)
*Ach Dhofir Zuhry, Pengasuh Pesantren Luhur Baitul Hikmah Kepanjen, pendiri Sekolah Tinggi Filsafat Al-Farabi Malang. Buku terbarunya: PERADABAN SARUNG (Veni, Vidi, Santri) dan KONDOM GERGAJI.
Sumber: facebook.com