Politik Alienasi


PERNAHKAH
anda ketika datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) lalu disuguhkan kertas untuk mencoblos calon anggota legislatif (caleg) dan anda belum mengenalnya atau minimal asing bagi anda?

Diketahui, alienasi dalam pengertian Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah suatu keadaan dimana terasa asing atau terisolasi. Atau bisa juga disebut sebagai pemindahan hak milik dan pangkat kepada orang lain yang belum dikenalnya.

Saat ini, politik alienasi sudah menjadi hal yang wajar dilakukan. Partai politik telah menggunakan kekuatan figuritas ketokohan secara nasional tanpa melihat kekuatan elektoral dimana caleg itu berasal.

Akibatnya, ketika dia terpilih -caleg alienasi itu- tidak akan pernah turun ke masyarakat untuk minimal melakukan serap aspirasi (reses) di daerah yang mereka wakili.

Masyarakat sudah dijauhkan dari edukasi politik dengan mencomot orang yang sama sekali tidak dikenalnya dari daerah pemilihan mereka. Hanya bermodalkan popularitas semata, politik kini sudah mendekati pada pragmatisme kekuasaan yang semakin menjauhkan hak dan kewajiban kepada warganya.

Cobala kita jujur pada diri kita, seberapa sering kita yang anggaplah menjadi masyarakat biasa yang kebetulan rumah kita jauh dari para anggota dewan dapat berinteraksi dengan para anggota dewan dalam 5 tahun menjabat?

Jujur, jika saya memposisikan diri sebagai rakyat biasa, saya pastikan jika peluang saya untuk bertemu, apalagi berinteraksi dengan para anggota dewan akan sangat sulit. Syukur-syukur dalam 5 tahun bisa bertemu sekali saja, terkadang kita tidak pernah tau, siapa saja wakil kita di dapil yang ada di parlemen sebagai kepanjangan tangan kita.

Artinya, ketika kita tidak mengenal anggota dewan karena sebab para wakil kita itu adalah hasil dari politik alienasi, maka kapan kita bisa berbicara, mengadu, dan meminta bantuan untuk membangun sistem perekonomian, pembangunan dan lain sebagainya di desa kita tinggal.

Belum lagi, kita ketahui bersama, jika reses anggota dewan juga hanya dilakukan dalam 3-4 kali dalam satu tahun. Hal itu jika berdasarkan laporan, belum tahu jika berkaitan dengan fakta di lapangan.

Oleh sebab itu, sebagai masyarakat yang memiliki hak politik dalam pesta demokrasi, maka sudah semestinya kita tidak tertipu oleh popularitas semata, namun juga kualitas si caleg serta komitmen mereka untuk membela hak-hak masyarakatnya.

Jangan tukarkan hak politik hanya dengan rupiah yang hal itu akan berakibat pada rusaknya integritas demokrasi yang diinginkan oleh para pendiri negara ini di masa lalu.

Piluhlah caleg yang dapat membantu anda sebagai bagian dari kepanjangan tangan anda di pemerintahan. Sebab, saya yakin, ketika anda memilih tanpa ada dorongan oleh sesuatu yang bersifat materi, maka minimal itu adalah jihad anda untuk bersama-sama membangun bangsa yang berkeadilan. Meskipun nantinya, caleg yang kuta pilih sesui dengan hati nurani kita kalah alias tidak terpilih sebagai anggota dewan..

Minimal, dengan melakukan hal itu, kita turut menjaga amanah para pendiri bangsa untuk melanjutkan cita-cita. Bukan cinta karena ada materinya. Sebab, ketika kita asal pilih, hanya akan ada satu kata, yakni dewan yang koruptif.

Selamat memilih pada Pikeg dan Pilpres sebagai pesta demokrasi lima tahunan di Indonesia tahun 2019 nanti. Tentukan pilihan anda sesuai dengan hati nurani anda! (*)

*Ahmad Fairozi, Pendiri sekaligus Ketua Pengurus Harian Rumah Baca Indonesia (Rumah Baca ID).