Seperti ‘Mayat Berjalan’, Begitulah Kekejaman Jepang Siksa Romusa


PENJAJAH
Jepang mempekerjakan romusa (buruh/pekerja) dari tahun 1942 hingga 1945 di Riau. Ribuan rakyat dipekerjakan secara sadis dan biadab membangun rel kereta api menghubungkan ke Sijunjung, Sumatera Barat (Sumbar). Para pekerja romusa juga dijuluki ‘mayat berjalan’.

Banyak masyarakat tidak mengetahui jika di Riau pernah ada perkeretapian. Jalur kereta api ini membentang dari kota Pekanbaru, menuju ke Kampar Kiri, Kampar yang menghubungkan ke Sijunjung Sumatera Barat sepanjang 220 Km.

Pembangunan jalur kereta api ini dimulai dari tahun 1942, ketika Jepang memenangkan peperangan kala itu. Jepang datang ke Riau dalam rangka memperkuat basis militernya di darat dan laut.

Basis militer daratnya, berpusat di Bukittinggi Sumbar. Sedangkan basis angkatan lautnya ada di Singapura. Militer Angkatan Laut Jepang sangat membutuhkan pasokan bahan baku batu bara sebagai bahan bakar kapal.

Dari sinilah, mengapa Jepang harus membangun rel kereta api di Riau. Ini karena, kebutuhan pasokan batu bara untuk kapal perangnya di Singapura.

Jalan satu-satunya untuk mempermudah pasokan bahan baku, Jepang harus menyambungkan rel kareta api di Sijunjung hingga ke Riau.

Kawasan di Sumatera Barat kala itu penghasil batu bara. Jalur kereta api dari Sijunjung dibangun hingga ke kawasan tepi Sungai Siak yang saat ini lokasi di kawasan pusat kota Pekanbaru.

Pembangunan rel kereta api ini, dimulai dari tahun 1942, dan bisa selesai hanya dalam kurun waktu satu tahun. Untuk membangun rel kereta api ini, ribuan masyarakat Indonesia dipekerjakan di jalur tersebut.

Sebagian besar didatangkan dari Jawa, dari Riau dan Sumatera Utara. Mereka bekerja siang dan malam tanpa hentinya untuk pembangunan rel tersebut. Pekerja romusa ini nasibnya sungguh tragis. Mereka dipekerjakan membangun rel kereta api tanpa diberi makan yang layak.

“Para pekerja diberi makan sedikit saja, tapi kerjanya sangat berat. Banyak rakyat kita mati di pembangunan rel kereta api itu,” kata pakar sejarah Riau, Prof Suwardi MS dalam perbincangan yang dilansir detikcom, Selasa, 14 Agustus 2018.

Kejamnya Jepang mempekerjakan pembangunan rel kereta api dalam kerja romusa, ibarat ‘mayat berjalan’. Mereka dipekerjakan secara tak manusiawi. Mereka dipaksa kerja untuk segera menyelesaikan jaringan rel kereta api.

“Kejam sekali Jepang kala itu. Makanya kita juga menyebutnya para pekerja romusa itu seperti mayat berjalan. Hari-harinya hanya kerja, tanpa diberikan makanan yang layak. Kalau yang tak rajin kerja, tak mereka kasih makan. Rakyat kita hidup dalam penderitaan,” kata mantan Pembantu Rektor I Universitas Riau itu.

Kejamnya Jepang, dalam waktu kurun waktu setahun saja, dia mampu membentangkan rel sepanjang 220 Km. Pembangunan rel yang penuh luka, derita dan darah itu, akhirnya selesai tahun 1943. Begitu pembangunan selesai, kereta api membawa batu bara dari Sumbar akhirnya sampai di Pekanbaru.

Kala itu, kereta api barang mengumpulkan batubara di tepi Sungai Siak di Pekanbaru. Lewat perairan sungai Siak, batubara lantas dibawa dengan kapal untuk memasok kapal perang Jepang yang ada di Singapura.

Gubernur Riau R H Soebrantas Siswanto pada tahun 1978 membangunan monumen untuk mengenang para pekerja Indonesia yang disiksa Jepang. Monumen berbentuk batu setinggi sekitar 2 meter dengan warna cat hitam itu bisa dijumpai di Jl Kaharudin Nasution, Bikit Raya Pekanbaru.

Jalan tersebut dari ujung Jl Sudirman, menuju ke Kampus Universitas Islam Riau (UIR). Kawasan tersebut, diberi nama Taman Makam Pahlawan Kerja.

Di tepi badan jalan, terlihat dengan jelas papan nama, Pemerintah Kota Pekanbaru, Taman Makam Pahlawan Kerja. Makam Pahlawan Kerja ini sengaja dibangun Gubernur Riau kala itu sebagai bentuk penghormatan kepada para pekerja romusa.

Di komplek makam ini, ada 24 pusara yang berdiri lahan sekitar setengah hektare. Di bagian depan ada halaman parkir dan pos penjagaan. Di sana ada monumen terbuat dari batu. Monumen itu tertulis:

Pahlawan Kerja

Wahai kusuma bangsa
Anda diboyong Jepang penguasa bekerja beker bekerja
Nasibmu dihina
Jasadmu tak kulit terurai tulang
Di sini anda rehat bersama
Tanpa tahu keluarga
Tak ada nama dan upacara
Namun jasamu dikenang bangsa
Andalah pahlawan kerja
Ya allah keharibaanmu kami persembahkan mereka ampunilah
rahmatilah mereka

Simpang Tiga 10 Nopember 1978
Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Riau, RH Soebrantas Siswanto.

“Monumen itu bentuk penghormatan pemerintah kita ke mereka yang menjadi pekerja romusa. Walau kuburan yang ada di makam itu semuanya bukan eks pekerja romusa. Itu masyarakat setempat. Tapi jika ingin dimakamkan (para pekerja atau keluarganya) di sana, pemerintah mempersilahkannya,” kata pakar sejarah Riau, Prof Suwardi MS dalam perbincangan secara terpisah.

Di lokasi komplek makam ini, di bagian belakang dibangunkan monumen lokomotif serta gandengannya. Lokomotif diletakkan di atas pondasi setinggi dua meter. Lokomotif itu bewarna hitam dengan gandengannya untuk mengangkut batubara. “Lokomatif dan gandengan itu salah satu sisa bukti sejarah perkeretaapian di Riau ini,” kata Suwardi.

Kejamnya Jepang mempekerjakan rakyat Riau jadi romusa benar-benar di luar kepantasan. Banyak sebagian pemuda di Riau harus hengkang dari tanah leluhurnya. Sebagian mereka lebih memilih merantau ke Malaysia. Mereka tak mau menjadi korban kebiadapan Jepang dalam pekerja romusa.

“Banyak merantau ke Malaysia dan mereka tak kembali lagi. Mereka menjadi warga negara sana. Tapi sebagian lagi warga Riau juga bekerja romusa,” kata Suwardi.

Sisa lokomatif peninggalan Jepang, juga masih terdapat di bagian belakang rumah warga di Jl Tanjung Medang, Tanjung Rhu. Lokomatif ini persis di dapur warga. Sayangnya, bukti sejarah itu teronggok dan terbaikan.

Walau begitu, penggiat wisata sejarah di Riau membagi lagi soal pekerja romusa itu. Horvian Putra penggiat wisata menyebutkan, ada klasifikasi setiap pekerja. Jika dari tenaga kerja yang dibawa dari Jawa, maka mereka dianggap pekerja paling keras.

“Tugasnya membuka hutan, meratakan bukit yang lembah diratakan. Jadi pekerja dari Jawa kerjanya paling keras,” kata Harvian.

Kalah perang dunia kedua, Jepang juga mempekerjaan orang Eropa yang ada di Sumatera. Pemerintah Jepang kala itu mengangkut orang-orang Eropa dari Sumbar. Warga Eropa yang dibawa ke Riau lewat jalan darat dengan perjalanan dua hari dua malam.

“Mereka itu semua sipil, ada warga Belanda, Jerman, Australia, New Zealand, sebagian kecil Cina. Jadi karena pemerintah Jepang berkuasa kala itu, semua orang asing di Sumbar dan Riau dipekerjakan di pembangunan rel kereta api,” kata Harvian.

Jumlahnya diperkirakan ada 10 ribu orang Eropa. Hanya saja, mereka ini lebih dipekerjaan soal teknisi. Mereka tidak ikut dalam membuka hutan untuk rel kereta api. Pekerjaan orang-orang Eropa ini sedikit lebih ringan dibanding pekerja romusa dari Jawa.

Untuk posisi orang Riau sendiri, biasanya mereka diberikan pekerjaan untuk mencari komsumsi untuk orang Jepang. Ada sebagian lagi sebagai penerjemah dari bahasa Indonesia ke bahasa Jepang.

Salah satu warga Riau jadi penerjemah adalah, Muhammad Syafi’i yang awalnya dari Payakumbuh, yang menetap di Riau. M Syafi’i ini adalah ayah dari Inu Kencana Syafi’i mantan dosen IPDN.

Sejumlah kepala desa, juga dilibatkan dalam memenuhi kosumsi orang-orang Jepang. Walau Jepang dianggap kejam, namun mereka akan tetap memberikan hadiah bagi Kades yang bisa memenuhi kuota logistik mereka.

“Ada juga Kades yang memenuhi kuota logistik untuk Jepang, diberi hadiah liburan ke Singapura. Jadi walau Jepang dianggap keras, namun mereka tetap komit bila ada kades berhasil memenuhi logistiknya, tetap diberikan hadiah,” kata Harvia.

Derita 3,5 tahun dijajah Jepang ini, baru berakhir ketika Jepang takluk oleh Sekutu. Derita itu pun berakhir.

Sayangnya, kereta api yang sudah dibangun bertaruh nyawa pasca kemerdekaan Indonesia tak lagi digunakan. Bentangan besi rel kereta api itu kini hanya sekedar cerita semata. Riau hingga kini, tak lagi punya jaringan kereta api.