Kekeringan


DATA
Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) telah merinci jumlah desa yang mengalami dampak kekeringan akibat kemarau tahun ini. Setidaknya, ada hampir 200 desa yang tersebar di empat kabupaten di Madura telah dilanda kekeringan. Desa-desa yang dilanda kekeringan itu meliputi, 42 desa di Kabupaten Sampang, 80 desa di Kabupaten Pamekasan dan 42 desa di Kabupaten Sumenep, serta 64 desa lainnya di Kabupaten Bangkalan.

Sungguh ironi. Pemerintah di empat kabupaten tak bisa menyelesaikan masalah kekeringan yang telah terjadi secara tahunan. Artinya, kekeringan tidak hanya terjadi tahun ini, namun, tahun-tahun sebelumnya juga pernah terjadi hal demikian. Bayangkan saja, masyarakat terdampak untuk mendapatkan air bersih, harus melakukan pengajuan melalui pemerintah desa. Baru setelah itu desa mengajukan kepada pemerintah daerah dan hal itu masih membutuhkan waktu yang lama.

Kita ketahui bersama bahwa air bersih merupakan kebutuhan pokok yang sangat sentral perannya. Tanpa air, masyarakat tidak bisa mandi, tidak bisa minum, tidak bisa memasak dan lain sebagainya. Jika untuk mendapatkan air saja butuh waktu yang terbilang lama, maka bukan tidak mungkin hal tersebut akan mengakibatkan berbagai resiko yang akan berdampak pada masyarakat, sebutlah masalah kesehatan.

Tidak hanya itu, keterbatasan anggaran yang dimiliki daerah untuk menanggulangi bencana juga terbilang minim. Seperti yang dialami BPBD Sampang yang tidak memiliki anggaran untuk bantuan air bersih tersebut, dan harus menunggu program bantuan dari pemerintah provinsi.

Selain soal anggaran, Koordinator Ikatan Pendamping Masyarakat Desa Jawa Timur, Suryo Adi Wibowo menyebut jika masalah kekeringan masih terjadi akibat lemahnya proses perencanaan penanggulangan dampak kekeringan di hampir semua desa di Madura. Sebab, masalah kekeringan tidak masuk dalam kajian saat penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDesa).

“Kalau masalah itu muncul di kajian masalah, pasti akan muncul juga di program. Kalau di masalah muncul tapi di program tidak ada, maka proses penyusunan RPJMDesa-nya perlu dipertanyakan,” katanya. (Baca: Dana Desa Melimpah, Kekeringan di Madura Tetap Jadi Masalah)

Dia melihat ada dua faktor yang menyebabkan penanggulangan kekeringan tidak masuk dalam RPJMDesa. Yang pertama karena pemahaman yang kurang tentang fungsi program DD dan ADD serta masih dominannya pengaruh pimpinan pemerintahan desa dalam menentukan program di desa. “Tapi semuanya berpangkal pada proses sosialisasi yang dilakukan oleh pendamping. Jika sosialisasinya kuat, maka kedua faktor itu bisa diminimalisir,” jelasnya, lebih lanjut.

Dengan demikian, ketidakinginanan dan ketidaktahuan aparatur desa dan pemerintah daerah dalam meyelesaikan masalah kekeringan adalah pangkal masalah utamanya. Jika pemerintah memiliki ijtihad baik untuk merumuskan masalah kekeringan yang kerap terjadi selama ini, kemungkinan besar solusinya akan dapat teratasi. Sebab, tidak ada masalah tanpa solusi.

Kekeringan dapat diprediksi, sementara bencana alam seperti gempa tidak. Artinya, jika kekeringan mampu diprediksi, bukan tidak mungkin dilakukan antisipasi di jauh-jauh hari sudah dipersiapkan dengan berbagai cara supaya mengurangi dampak akibat kekeringan yang terjadi. Oleh sebab itu, dapat kita simpilkan masing-masing, bagaimanakah masyarakat menilai pemerintah desa, daerah hingga pusat dalam mengatasi berbagai masalah, termasuk masalah kekeringan yang kerap terjadi di beberapa tempat.

Semoga tahun depan masalah ini dapat diatasi, atau paling tidak dapat diminimalisir. (*)

*Ahmad Fairozi, Pendiri Rumah Baca Indonesia (Rumah Baca ID).