TV dan Selera Publik


KEMARIN
sambil bermalas-malasan di tempat tidur kamar hotel, saya nyalakan TV. Saluran-saluran awal yang muncul dalam daftar yang sudah disetel oleh pihak TV adalah saluran TV Indonesia. Di saluran pertama ada berita dunia hiburan, tentang Caesar yang menikah lagi. Saya pindah ke saluran lain, lagi-lagi berita dunia hiburan, yang memberitakan pertikaian antara seorang pesohor dan ibunya. Wawancara dengan keduanya ditampilkan silih berganti, seakan pihak TV ingin menyajikan pertengkaran keduanya dalam bentuk siaran langsung.

Saya pindah ke beberapa saluran lain, isinya sinetron dan pengajian. Ada juga iklan acara TV untuk siaran berikutnya, acara perbincangan yang dipandu oleh Hotman Paris, isinya membedah kekayaan Syahrini.

Akhirnya saya sampai pada saluran TV Jepang, yaitu NHK. Isinya adalah acara perbincangan, hasil liputan wartawan TV itu ke sebuah ladang jagung di Jepang sana. Petaninya melakukan berbagai inovasi dalam bertani jagung, sehingga ia menghasilkan jagung yang sangat lezat. Saya tonton acara ini sampai selesai.

Kalau saya sedang berada di rumah, saluran TV lokal tidak ada dalam daftar tontonan saya. Kalau film-film di FOX atau HBO tidak menarik, saya biasanya menonton Asian Food Channel, National Geographic, Discovery, atau NHK. Cukup sering kami menonton NHK, karena istri saya juga bisa bahasa Jepang, dan dulu sering menonton saluran ini waktu kami tinggal di Jepang.

NHK punya ciri khas, yang membuatnya berbeda dengan National Geographic atau Discovery. Ia menggabungkan antara dokumenter dan perbincangan. TV ini membuat film dokumentasi tentang suatu topik, lalu disiarkan dalam format perbincangan, menghadirkan pakar bersama pesohor, dipandu dengan baik oleh tuan rumah penyiar TV. Hasilnya adalah acara yang sarat informasi mendidik, tapi kemasannya santai, bahkan tak jarang diselingi dengan canda tawa. Ini format umum di TV Jepang. Berita, dokumentasi, biasanya dikemas dalam format perbincangan santai, yang sering kali menghadirkan pelawak.

Contoh program NHK ini sebuah dokumenter tentang fungsi ginjal yang saya tonton beberapa bulan lalu. Acara ini dibahas secara menarik, dan populer. Acara dipandu oleh pembawa acara dari intern NHK. Lalu ada komedian Tamori sebagai bintang tamu. Sebagai ahli, diundang seorang profesor kedokteran.

Dalam dokumenter itu dijelaskan bahwa ginjal bukan sekadar filter yang memisahkan darah dengan kotoran, yang akhirnya nanti dibuang sebagai air seni. Sebagai filter, fungsi pertamanya memang memisahkan. Tapi, kemudian ada penyesuaian. Kandungan mineral dan ion yang sudah dipisahkan dari darah tidak otomatis keluar sebagai air seni. Ada sebagian kandungan yang dikembalikan ke dalam darah bila diperlukan. Ada bagian-bagian kecil dalam ginjal yang bertugas melakukannya.

Ginjal juga berfungsi sebagai pengirim signal kalau tubuh kekurangan oksigen. Ia juga mengatur tekanan darah. Dalam film dijelaskan soal seorang pasien hipertensi yang disembuhkan dengan operasi ginjal.

Ini sungguh acara yang sangat menarik dan mudah dipahami. Dokumenternya tak melulu narasi, tapi dilengkapi dengan animasi, foto mikroskop elektron, skema, dan hal-hal lain, untuk menjelaskan fungsi ginjal secara mudah dipahami. Ditambah lagi dengan berbagai tampilan diagram yang dipakai saat profesor pembahas menjelaskan isi film dokumenter. Acara dikemas dalam bentuk perbincangan santai.

Usai menonton saya membayangkan “dapur” yang memproduksi acara itu. Mungkin ada beberapa doktor yang bekerja di situ, yang memahami isi materi yang dibahas, lalu menyusunnya menjadi materi dokumenter yang mudah dipahami oleh orang awam. Selain itu, ada juru kamera, animator, editor gambar yang andal yang mampu meramu gambar-gambar video maupun foto secara informatif dan menarik. Ditambah pengarah acara perbincangan yang juga menarik. Pemandu acara, meski bukan ilmuwan, menguasai bahan yang disiarkan, sehingga dapat membawakan acara dengan sangat baik.

Kemarin, usai menonton acara TV itu istri saya berkomentar, “Kenapa tidak ada TV Indonesia yang menyiarkan acara seperti NHK itu?”

Jawabannya terkandung dalam penjelasan saya di atas. Sulit membayangkan perusahaan TV kita punya pakar di berbagai bidang, seperti sains atau kedokteran yang mampu menyusun materi program yang berbobot. Juga tidak ada juru kamera, editor, dan animator yang punya kemampuan tinggi. Perusahaan pemilik saluran TV tidak perlu repot-repot menggaji untuk mereka mahal-mahal. Alasannya, acara seperti itu, yang dibuat dengan biaya tinggi, kemungkinan besar tidak akan mengumpulkan banyak pentonton.

Jumlah penonton, atau yang lebih dikenal sebagai rating, adalah nyawa bagi industri siaran TV. Tarif iklan ditentukan dari jumlah penonton. Pengiklan hanya mau beriklan di acara yang banyak penontonnya. Pengelola TV harus membuat acara yang dapat menyedot banyak penonton dengan biaya murah, sehingga ada laba. Bila acara diproduksi dengan biaya tinggi, laba yang didapat sedikit.

Acara-acara yang saya saksikan sekilas di berbagai saluran tadi adalah acara yang bisa dibuat dengan murah. Tidak diperlukan pakar sains atau kedokteran, juga tidak perlu juru kamera atau animator andal. Dengan bermodal kamera dan mikrofon, acara sudah dapat diproduksi. Hasilnya lumayan, iklan mengalir masuk.

Saluran TV non-hiburan juga tak jauh-jauh dari format itu. Meski tidak menyiarkan sinetron atau berita dunia hiburan, format acaranya tak jauh-jauh dari acara dengan modal kamera dan mikrofon. Perbincangan tak jauh-jauh dari acara perbincangan politik yang panas, yang sebenarnya tak berbeda banyak dengan siaran pertengkaran antara pesohor dan ibunya seperti yang saya tonton sekilas tadi.

TV adalah panggung berbasis pasar. Pasar menjual produk yang disukai publik. Kalau publik suka, maka produk akan laku. Produsen mendapat keuntungan banyak kalau produk mereka disukai publik dan laku. Maka berbagai stasiun TV berlomba-lomba memproduksi acara-acara seperti itu. Siapa yang bisa disalahkan? Pengelola TV akan berdalih bahwa mereka hanya mengikuti selera publik agar bisa bertahan hidup. Bila tidak mengikuti selera publik, TV akan mati.

Benarkah begitu? Sebenarnya tidak. Produsen sebenarnya bisa memilih, mengikuti selera publik, atau menyetir selera publik. Posisi tadi bisa dibalik. Kalau tadi posisinya adalah produsen (seakan) tidak punya pilihan, selain memenuhi tuntutan selera publik, ini bisa dibalik dengan bersama-sama menyodorkan sesuatu sesuai “kehendak” produsen, sehingga konsumen tidak punya pilihan lain. Ekstremnya, kalau semua saluran TV menyiarkan acara bermutu, apakah publik akan berhenti menonton TV karena tidak mendapatkan acara buruk?

Masalah sebenarnya, menurut saya, bukan selera publik, tapi kemampuan produsen untuk menghasilkan produk bermutu. Ada proses panjang dan melelahkan yang harus dilalui, ada investasi yang tidak kecil. Hanya orang-orang yang punya komitmen tertentu yang sanggup menempuh jalan itu.

Padahal komitmen saja pun belum cukup. Perlu energi lebih besar untuk membangun keahlian agar mencapai taraf yang bisa memproduksi acara-acara seperti yang dihasilkan NHK tadi. Nah, adakah perusahaan TV beserta awaknya yang mau menempuh jalan itu?

Kalau kita ibaratkan dengan restoran, pilihannya adalah menghasilkan makanan cepat saji atau makanan bermutu. Kita bisa menggoreng sepotong daging yang dibalut tepung, dibumbui dengan MSG yang disukai publik. Cepat, murah, dan menguntungkan. Pilihan lainnya adalah membuat makanan berkelas restoran di hotel bintang lima. Keduanya pada akhirnya akan menghasilkan laba bila dikerjakan dengan baik. Tapi, jalan yang kedua lebih rumit karena memerlukan berbagai keahlian yang harus terlebih dahulu dikumpulkan.

Acara TV bermutu tidak akan bisa dihasilkan kalau pengelola TV masih terjerat di lingkaran setan rating-laba tadi. Mereka harus keluar, berinvestasi membangun pasar baru bagi acara-acara bermutu, dengan target menggeser selera pasar. Ini bukan lagi pekerjaan pencari laba. Ini adalah pekerjaan idealis yang berkomitmen untuk mendidik masyarakat. Masalahnya, adakah yang mau menempuh jalan itu? Sepertinya tidak. (*)

*Hasanudin Abdurakhman, cendekiawan, penulis dan kini menjadi seorang profesional di perusahaan Jepang di Indonesia.