Darurat Pemahaman Informasi Digital Bagi Remaja


“Dari media sosial saya mendapatkan banyak hal. Selain bisa menjalin pertemanan, saya juga bisa mendapatkan banyak informasi. Salah satu informasi tersebut adalah pelajaran tentang agama, sehingga dari sana saya akhirnya memutuskan untuk berjilbab.”

NITA, siswi sebuah SMA di Kabupaten Sleman itu bercerita kepada saya tentang manfaat media sosial. Dua pekan lalu saya diajak oleh Dinas Kominfo Sleman untuk berkeliling ke sekolah-sekolah dan mempromosikan perilaku bermedia sosial yang sehat. Di salah satu sekolah itulah saya berjumpa dengan Nita.

Tentu saya mengapresiasi keputusan Nita untuk berjilbab, sebagai hasil dari pencarian kebenarannya di belantara unggahan media sosial. Namun, kemudian saya susulkan pertanyaan.

“Hmm, begini, Dik. Kakak senang sekali kamu akhirnya mengambil keputusan untuk taat beragama sebagai hasil proses belajar yang kamu jalani. Tapi, harap diingat tidak semua ulasan keagamaan di medsos itu bener. Ada banyak juga yang salah, ada yang mengajak kita kepada hal-hal buruk tapi dilambari dengan ajaran agama, ada yang menipu kita dengan dalil-dalil agama, dan sebagainya. Bahkan harap tahu ya, propaganda atau ajakan-ajakan terorisme pun seringkali disebarkan lewat media sosial. Orang-orang yang ngebom orang lain yang tak bersalah itu direkrut lewat medsos! Nah, bagaimana kamu dan teman-temanmu membedakan antara ajaran yang bener di medsos dan yang nggak bener?”

Sebenarnya saya ingin mengarahkan anak itu untuk menjawab, “Saya akan bertanya kepada guru agama saya di sekolah, Kak.” Itulah harapan saya di sela rasa sedikit terkejut karena ada seorang anak remaja yang berani mengambil sebuah keputusan besar dalam hidupnya cuma berbekal sebuah unggahan di medsos.

Tak dinyana, jawaban Nita asyik sekali. “Saya akan memeriksanya lewat Google, Kak. Apakah sebuah ajaran agama di medsos benar atau tidak, semua itu bisa kita cek di Google.”

Saya melongo. Lebih melongo lagi mulut saya ketika seisi kelas yang dihadiri tak kurang dari 200 anak mengiyakan jawaban Nita. Ya, bagi anak-anak itu, Google sudah menjadi pelabuhan terakhir untuk proses agung pencarian kebenaran.

Ini mungkin tampak terlalu lebay, tapi percayalah situasi ini sangat mencemaskan. Saya bertanya kepada anak-anak itu, berapa jam dalam sehari mereka bermain medsos. Lebih panjang mana waktu yang mereka gunakan untuk belajar di luar sekolah dan bermain, dibandingkan dengan waktu untuk bermain medsos. Ternyata, dengan jujur mereka mengakui bahwa medsos mengambil porsi lebih banyak, bahkan jauh lebih banyak, dibandingkan dengan kegiatan-kegiatan yang lain.

Artinya, bicara tentang anak-anak remaja sekarang ini otomatis harus bicara medsos. Bicara tentang bagaimana menjaga kesehatan pergaulan mereka, harus bicara medsos. Bicara tentang perkembangan kepribadian mereka, tentang perkembangan kedewasaan berpikir mereka, bahkan tentang keselamatan fisik dan psikis mereka di saat ini, medsos harus menjadi salah satu porsi utama yang mesti dibahas.

Pertanyaannya, ada berapa orang, berapa orangtua, berapa instansi pendidikan, berapa instansi pemerintah di lingkup lokal yang cukup peduli soal itu?

Pemerintah lokal yang agendanya saya ikuti itu tadi cuma menyelenggarakan kegiatan penyuluhan tersebut di sebagian kecil sekolah, itu pun di setiap sekolah hanya diambil sebagian kelas saja. Tentu anggarannya terlalu besar jika harus menggelar acara serupa untuk seluruh murid sekolah di wilayahnya. Tapi, lantas bagaimana nasib anak-anak lain yang tak tersentuh dialog, padahal hanya melalui dialog semacam itulah mereka akan terjaga dan menyadari betapa mulut-mulut buaya senantiasa menganga dan siap mencaplok mereka dari balik gerumbul semak liar di rimba raya media sosial?

“Anak-anak sekolah kita memang mendapatkan pelajaran teknologi informasi. Tapi, di pelajaran itu yang mereka dapatkan hanyalah tentang bagaimana cara menggunakan teknologi informasi, bukan bagaimana kerangka berpikir kita dalam memandang serta menyikapinya. Lebih parah lagi, banyak anak sekolah yang hanya diajari Windows saja. Jadi mereka tidak pernah paham komputer, sebab bagi guru mereka pemahaman komputer dan dunia digital akan selesai cukup dengan menguasai Windows.”

Hahaha. Saya terpingkal mendengar kesaksian itu. Tapi, kalimat-kalimat itu muncul dari mulut seorang pentolan birokrat Kemenkominfo yang saya jumpai, dan artinya tidak mungkin dia asal nyerocos. Ini semakin memperkuat asumsi saya sejak semula bahwa kondisinya sudah begitu darurat untuk memberikan pemahaman yang bersifat paradigmatik, yang bersifat mindset, agar anak-anak remaja tahu apa yang sedang mereka hadapi.

Masalahnya, kurikulum pendidikan TI kita belum mampu menjawab tantangan ini secara meyakinkan. Persis seperti yang dikatakan kawan saya tadi: mereka cuma diajari bagaimana menggunakan TI sebagai alat, dan tidak cukup paham cara menghadapinya sebagaimana kita menghadapi monster yang berdiri mengerikan di hadapan kita.

Lalu, bagaimana? Saya pun tak tahu. Siapalah saya, sehingga dikira tahu soal-soal rumit seperti itu. Ini hanyalah sejenis ratapan; saya bantu menyalakan lampu kuning, bahkan merah, sekaligus saya mengeluh berat karena tak banyak orang cukup paham bahwa rasa abai kita akan membawa risiko besar bagi satu generasi.

Saya berikan gambarannya, lalu mohon bayangkan. Nita dan teman-temannya adalah murid di sebuah SMA unggulan. Anak di situ pintar-pintar, karena memang sudah terseleksi dari SMP-SMP yang juga unggulan. Banyak di antara teman-teman Nita adalah anak-anak dari keluarga yang tidak berkekurangan, sehingga akses atas informasi pun sangat berkecukupan. Nah, dengan kondisi mereka yang baik pun, ternyata mereka melihat informasi apa pun di Google sebagai segalanya!

Kemudian bagaimana dengan anak-anak di sekolah-sekolah yang bukan unggulan, dengan orangtua yang tak tahu bagaimana cara mendidik anak, sebab waktu mereka habis untuk mencari sarana bertahan hidup? Bagaimana juga dengan anak-anak di kabupaten lain, mengingat Sleman terhitung sebagai kabupaten maju dalam perkara teknologi informasi? Apa yang akan dihadapi oleh ribuan anak yang harus berjalan sendiri di hutan informasi digital tanpa pemandu di dekat mereka?

Di sebuah SMK, di kabupaten yang sama, di hadapan hampir 500 anak yang sebagian besar laki-laki, saya bercerita.

“Dik, saya kasih cerita ya. Saya punya kawan, dia laki-laki. Suatu hari, ada inbox muncul di Facebook-nya. Isinya cewek cantik, seksi, yang menggoda kawan saya itu. Si cewek meminta kawan saya untuk membuka bajunya, dan melakukan hal-hal yang lebih daripada sekadar membuka baju. Sebagai gantinya, cewek di seberang sana juga mau membuka bajunya. Semua itu terjadi di depan kamera, karena keduanya melakukan video call. Nah, kalau kalian jadi kawan saya itu, apa yang akan kalian lakukan?”

“Menolaaaaaaak! Tidak mauuuu…!” jawab mereka meski sambil malu-malu.

“Ha? Kenapa nggak mau? Kalian normal enggak sih?” goda saya.

Anak-anak itu tertawa cekikikan. Lalu ada yang menjawab. “Nggak mau karena dosaaaa!”

Oh. Itu saja? Ya, ternyata cuma itu jawaban mereka. Padahal, dengan usia mereka yang secara fisik sedang matang-matangnya, saya tidak cukup percaya bahwa ketika situasi itu terjadi di depan mata mereka, mereka masih ingat dosa. Artinya, mereka akan terjebak pada permainan si gadis di seberang kamera. Maka, saya menyambung cerita saya.

“Urusannya bukan cuma dosa, Adik-adik. Tak berapa lama kemudian, kawan saya itu akhirnya mendapatkan satu tautan Youtube. Isinya video dia sedang membuka celana dan mengeluarkan isinya. Kawan saya kaget, lalu menangis melolong-lolong meminta si gadis untuk menghapusnya. Tapi, si gadis mengancam untuk menyebarkan video itu ke semua teman Facebook kawan saya!”

Anak-anak di hadapan saya ternganga.

“Nah,” saya melanjutkan, “Kalau kawan saya itu mau video itu dihapus, dia harus membayar gadis itu sebesar 20 juta!”

Anak-anak itu tambah ternganga. Lalu, terbayang di kepala saya bagaimana salah seorang di antara mereka, seorang anak petani, menangis meraung-raung di hadapan orangtuanya, meminta bapaknya untuk menjual sawah segera, agar uang hasil penjualannya bisa segera ditransfer kepada seorang gadis sintal di seberang kamera. (*)

*Iqbal Aji Daryono, esais, tinggal di Bantul.


Sumber: detik.com