Kampung Cerdas, Desa Hebat


KETIKA
mendengar program padat karya yang dicanangkan pemerintah melalui Dana Desa (DD) awal tahun 2018 lalu, kita betul-betul berharap hal itu dapat mendongkrak perekonomian masyarakat terkhusus di kampung-kampung desa yang terpencil dan terisolir. Namun nampaknya, hal itu belum begitu berhasil karena pemerintah desa yang menjadi ujung tombak program tersebut masih kebingungan untuk mengimplementasikannya.

Hingga hampir pertengahan tahun atau memasuki triwulan ke II 2018, program padat karya seakan masih menjadi misteri, terlebih di beberapa daerah yang memang betul-betul terisolir secara akses dan infrastrukturnya. Hal itu dimungkinkan karena kurang siapnya pemerintah desa dalam menghadapi perubahan dan miskinnya inovasi yang dimiliki atau memang ada faktor politik lainnya, entahlah. Namun, kenyataannya demikian.

Seperti yang terjadi di Kabupaten Sumenep, Madura, Jawa Timur, misalkan, hingga saat ini hanya beberapa desa yang telah mencairkan DD. Hal itu diduga kuat karena desa tidak bisa mengimplementasikan dengan cepat keinginan pemerintah pusat dalam mekanisme pencairan DD. Sehingga, proses yang seharusnya cepat dilakukan menjadi terhambat karena beberapa faktor tadi.

Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (DPMD) Ahmad Masuni menyebut, hingga Mei 2018, Kabupaten di paling ujung timur pulau Madura ini masih ada 30 desa dari 334 desa/kelurahan di daerahnya yang baru mencairkan DD. “Terkait pencairan DD tahap pertama yang 20 persen, sampai sekarang baru ada 30 desa yang telah mencairkan. Memang ada keterlambatan,” kata Masuni. (Koran Madura, Senin, 21 Mei 2018)

Masuni merinci, desa-desa yang telah mencairkan DD tahun 2018 baru tersebar di sembilan kecamatan, yaitu Kecamatan Bluto 2 desa; Gili Genting 3 desa; Ambunten 1 desa; Rubaru 1 desa; Lenteng 10 desa; Batuputih 5 desa; Dungkek 5 desa; Batang-Batang 3 desa; dan Gapura 1 desa.

Alasan keterlambatan pencairan DD kali ini pun menurut Masuni salah satunya adalah karena masih banyak desa di Sumenep belum menuntaskan entri data ke dalam Sistem Keuangan Desa (Siskeudes). “Proses pengentrian data, misalnya terkait keuangan desa, masih terus dilakukan oleh para operator. Mereka terus konsultasi dengan kami. Maklum, karena Siskeudes ini baru. Makanya di awal-awal mereka mengalami hambatan,” tambahnya.

Itu artinya, desa di Sumenep masih tidak siap baik tenaga maupun gagasan untuk melakukan perubahan dengan cepat. Desa kesulitan saat melakukan penyesuaian dengan kebijakan pemerintah pusat, sehingga setiap kebijakan yang dibuat pemerintah pusat seringkali lambat atau bahkan gagal dilaksanakan dan diwujudkan.

Dengan program padat karya yang diumumkan presiden Joko Widodo awal tahun lalu, ternyata hingga hampir pertengahan tahun 2018 DD di banyak tempat termasuk di Sumenep masih banyak yang belum bisa dicairkan karena beberapa kendala yang terjadi. Salah satunya, lambatnya transfer teknologi dan informasi serta terhambatnya pemahaman akibat miskin gagasan yang dimiliki.

Namun secara nasional, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat realisasi pencairan DD sampai 30 April 2018 sebesar Rp 14,27 triliun. Realisasi tersebut lebih kecil dibandingkan periode yang sama pada tahun sebelumnya yakni Rp 16,65 triliun.

Lambatnya penyaluran dana desa dari Rekening Kas Umum Negara (RKUN) ke Rekening Kas Umum Daerah (RKUD) menurut pejabat Kemenkeu karena hal-hal teknis. “Pertama masih banyak daerah yang belum memenuhi persyaratan yaitu penetapan peraturan bupati dan wali kota tentang tata cara pembagian dan penetapan rincian dana desa,” kata Dirjen Perimbangan Keuangan Kemenkeu Budiarso Teguh Widodo. (Detik, Kamis, 17 Mei 2018)

Tapi Budiarso optimistis, pada akhir Juni atau semester I 2018 penyaluran DD mencapai 60 persen atau Rp 36 triliun. Dia menyebut, jika tidak dicairkan dalam waktu tertentu, maka anggaran DD tersebut akan hangus.

“Kami optimis bahwa hingga akhir semester I yaitu bulan Juni nanti pada saat kita menyampaikan laporan semester I ke DPR itu paling tidak sudah 60 persen, karena untuk tahap kedua yang Rp 24 triliun. Paling lambat pada minggu keempat Juni harus sudah dicairkan dari RKUN ke RKUD kalau nggak hangus. dengan sanksi itu daerah akan mempercepat penyaluran,” tambahnya.

Dengan demikian, itu tanda jika pemerintah desa sangat minim pengetahuan, minim program dan minim perencanaan. Sehingga setelah penggunaan Siskeudes mulai diwajibkan pemerintah pusat, aparat desa menjadi kalangkabut alias kewalahan. Hal itu tentu juga berdampak pada program padat karya dan program-program desa lainnya. Bahkan, jika sampai minggu keempat bulan Juni DD belum dicairkan, maka dapat dipastikan DD tersebut akan hangus.

Semoga desa tidak selalu demikian. Disaat pemerintah pusat dan masyarakat berharap kebaikan akan memihaknya, malah yang terjadi sebaliknya. Semoga sekali lagi tidak demikian, sebab ketika kampung cerdas, desa akan menjadi hebat. (*)

*Ahmad Fairozi, Pendiri sekaligus Ketua Rumah Baca Indonesia (Rumah Baca ID).