Agama di Pusaran Politik Kekuasaan


AL GHAZALI
, salah seorang pemikir Islam yang sangat berpengaruh, pernah menganalogikan hubungan erat antara agama dan kekuasaan. Baginya, agama dan kekuasaan laksana saudara kembar. Jika salah satunya tak ada, maka yang lain pun tak akan berdiri secara sempurna. Agama ialah fondasi, sementara kekuasaan adalah penjaga. Sebuah bangunan tanpa adanya fondasi pastilah rentan rubuh. Dan apabila segala sesuatu tidak dijaga, maka ia akan rentan hilang.

Sejalan dengan perkembangan peradaban manusia, hubungan agama dan kekuasaan menjadi demikian kompleks. Relasi antar keduanya mengalami dinamika dan intrik. Berbagai narasi sejarah, baik narasi yang melegitimasi diri dari pengetahuan ilmiah maupun narasi yang bersumber dari wacana agama, justru kerap mencatat bahwa hubungan antara agama dan kekuasaan senantiasa diliputi konflik.

Di dalam kitab-kitab agama Samawi, misalnya, dikisahkan konflik-konflik antara nabi dengan raja-raja yang lebih dulu memegang kekuasaan di suatu wilayah, seperti pertentangan Ibrahim dengan Namrud, Musa dengan Firaun, Isa dengan kekaisaran Romawi, dan sebagainya. Di abad pertengahan, berkobar Perang Salib, memperebutkan wilayah Yerusalem di Timur Tengah. Hingga abad ini, konflik-konflik bernuansa agama tak kunjung selesai, membentang di berbagai belahan bumi.

Pergulatan antara agama dan kekuasaan itulah yang diangkat oleh Shusaku Endo dalam novelnya, Silence (Gramedia Pustaka Utama, 2017). Novel bergenre fiksi sejarah ini ditulis pada tahun 1966, dan menceritakan tentang perjalanan dua orang misionaris Katolik di wilayah Jepang pada kurun abad ke-16.

Sebastian Rodrigues, tokoh utama dalam novel, bersama dengan temannya Francis Garrpe, adalah dua orang misionaris asal Portugal yang dikirim ke Jepang untuk mencari tahu keberadaan Cristovao Ferreira, misionaris yang hilang kontak dengan otoritas Vatikan. Pada masa-masa awal tugasnya di Jepang, Pastor Ferreira rutin mengirimkan surat kepada otoritas Vatikan, dan mengabarkan bahwa perkembangan persebaran agama Katolik di Jepang berlangsung dengan baik. “Ferreira adalah misionaris berpengalaman yang teramat dihormati, dan sudah tiga puluh tiga tahun tinggal di Jepang, dengan jabatan tinggi sebagai provincial, dan selama ini merupakan sumber inspirasi bagi para imam serta umat yang setia (hal. 25).”

Akan tetapi, sejak berkuasanya Toyotomi Hideyoshi, dan selanjutnya pemerintahan shogun Tokugawa, penguasa Jepang mengambil kebijakan keras terhadap persebaran agama Katolik di Jepang. Berbeda dengan kebijakan penguasa di periode pemerintahan sebelumnya — yang terbuka terhadap ide-ide Kristianitas serta modernisasi dari Barat –, Hideyoshi dan pemerintahan Tokugawa menganggap Kristianitas sebagai ancaman bagi stabilitas di Jepang. Oleh karena itu, mereka bersifat represif terhadap berbagai kegiatan persebaran agama Katolik, bahkan menyiksa dan mengeksekusi para pemuka agama serta warga penganut Katolik.

“Tidak lama sesudahnya, orang-orang Kristen/Katolik di seluruh penjuru negeri diusir dari rumah mereka, disiksa, dan dihukum mati dengan kejam. Shogun Tokugawa menerapkan kebijaksanaan yang sama, memerintahkan pengusiran terhadap semua misionaris dari Jepang pada tahun 1614 (hal. 26).”    

Tersebar kabar bahwa Ferreira dan umat Katolik Jepang telah mengalami siksaan luar biasa, dan akan terus seperti itu hingga mereka menyerah dan murtad, mengikuti agama resmi seperti para penguasa. Rodrigues dan Garrpe lantas menempuh perjalanan ke Jepang untuk melacak kebenaran kabar tersebut. Sesampainya di sana, mereka pun harus menjalani sebuah kehidupan yang berat. Bersama dengan sisa-sisa umat Katolik yang dijumpai di Jepang, Rodrigues menyebarkan agama Katolik secara sembunyi-sembunyi, di bawah ancaman hukuman mati dan represi penguasa Jepang. Hingga pada akhirnya ia bertemu dengan Ferreira dan mendapati realitas yang mengguncangkan imannya.

Shusaku Endo lahir di Tokyo pada tahun 1923, dan ia menempati posisi penting dalam peta kesusastraan Jepang. Ia dinominasikan untuk menerima hadiah nobel sastra tahun 1994, namun kalah oleh penulis Jepang lain, Kenzaburo Oe, yang menjadi orang Jepang kedua penerima nobel sastra setelah Yasunari Kawabata pada tahun 1968. Dengan latar belakangnya sebagai seorang Katolik, ia kerap menggarap tema-tema Kristianitas dalam karya-karya sastranya. Novel Silence, tak lama setelah diterbitkan untuk pertama kali, menjadi kontroversi bagi sebagian umat Katolik Jepang karena dianggap mengecilkan keberanian luar biasa para leluhur mereka dalam menghadapi penindasan mengerikan penguasa Jepang kala itu. Kritik juga datang mengenai gambaran pastor-pastor yang tidak memiliki keyakinan mantap atas imannya.

Biar bagaimanapun, wacana agama tidaklah sesederhana permasalahan murtad, atau perkara mempertahankan keteguhan iman belaka. Endo membangun narasinya sendiri, bagaimana persoalan keyakinan, yang merupakan wilayah personal, berbenturan dengan wilayah-wilayah sosial dan kekuasaan politik. Gambaran Pastor Ferreira dan Pastor Rodrigues, yang menanggalkan imannya demi menyelamatkan umat Katolik Jepang dari siksaan-siksaan mahaberat, menjadi simbolisasi ruang baru dalam konsep agama: ruang untuk kemanusiaan. Seakan-akan, Endo hendak memotong hierarki vertikal ketuhanan dan kemanusiaan, dan meleburnya dalam suatu dialektika. Ia melandaskan diri pada konsep bahwa Kristus datang untuk menebus dosa umat manusia, serta gagasan bahwa agama hadir sebagai pelayanan terhadap kemanusiaan — tak jarang menuntut pengorbanan diri — seperti yang dicontohkan oleh Kristus sendiri.

Beberapa interpretasi lain juga menyebutkan bahwa di dalam novel ini, tergambarkan Kristianitas yang sedang mencari bentuknya sendiri di tanah Jepang, yang tentu berbeda dengan Kristianitas di Eropa maupun di belahan bumi lainnya. Agama merupakan wacana yang dinamis, terus bergerak, dan tidak statis dengan satu dogma yang mapan. Dengan pendekatan itulah, agama dapat terus bertahan serta menjawab tantangan-tantangan zaman yang berubah di wilayah geografis mana pun tempat agama tersebut hidup.

Novel Silence tentu juga merupakan kritik terhadap perilaku-perilaku kekuasaan yang menindas manusia, dalam hal ini penindasan terhadap hak dan kebebasan memeluk agama sebagai hak dasar manusia. Perilaku semacam itu amatlah kuno dan keji, tak ubahnya seperti Firaun pada ribuan tahun lalu. Akan tetapi, pada realitasnya, kita selalu menemukan Firaun-Firaun kecil megalomania di setiap zaman, bahkan hingga hari ini dan akan terus ada. Benih-benih perlawanan terhadapnya pun akan selalu muncul, upaya-upaya pembebasan untuk kehidupan manusia yang lebih baik.

Wacana relasi antara agama dan kekuasaan tampak tidak akan pernah berhenti. Hingga pada akhirnya nanti kita dapat menyimpulkan sendiri, mampukah agama hadir sebagai pembebas manusia dari politik kekuasaan, atau justru agama akan muncul sebagai alat penindas manusia, sebagai wajah asli politik kekuasaan? (*)

*Puri Bakthawar, Alumni Fakultas Ilmu Budaya UGM Yogyakarta. Menulis cerita pendek, esai, dan resensi buku.



Data Buku

Judul: Silence
Penulis: Shusaku Endo
Penerjemah: Tanti Lesmana
Peresensi: Puri Bakthawar
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Cetakan: IV, Mei 2017
Tebal: 304 halaman
ISBN: 978-602-03-3717-3