Warisan Utang Belanda adalah Tumbal Pengakuan Kedaulatan Indonesia


Rumah Baca Orid

Meskipun Sukarno-Hatta atas nama rakyat Indonesia telah membacakan proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, namun Belanda sangat sulit mengakui kenyataan tersebut. Bahkan, tak lama setelah itu, bekas penjajah ini datang lagi dengan membonceng pasukan Sekutu. Tujuannya, Belanda ingin kembali menguasai Indonesia.

Setelah melalui masa-masa genting nan berdarah-darah, diwarnai serangkaian perang dan perundingan, Belanda akhirnya mengakui kedaulatan RI tanggal 27 Desember 1949 melalui Konferensi Meja Bundar (KMB).

Namun, pengakuan kedaulatan tidak hanya memberikan kelegaan bagi bangsa Indonesia, tapi juga warisan utang pemerintah kolonial Hindia Belanda yang cukup besar. Alhasil, Sukarno dan para pengampu negara harus berjibaku menuntaskan persoalan ini.

Tarik Ulur Utang-Piutang

Urusan utang-piutang sudah menjadi agenda pembahasan serius antara Indonesia dan Belanda beberapa pekan sebelum penyerahan kedaulatan. Rangkaian Konferensi Meja Bundar (KMB) yang digelar di Den Haag sejak tanggal 23 Agustus 1949 cukup alot membahas persoalan ini.

Belanda bersedia mengakui kedaulatan RI dengan catatan, Indonesia harus menanggung utang dari zaman pemerintahan Hindia Belanda hingga penyerahan kedaulatan. Di sisi lain, pihak RI hanya mau menanggung utang hingga Maret 1942, atau berakhirnya era Hindia Belanda seiring kedatangan Jepang.

Kubu RI punya alasan kuat atas penolakan itu. Jika pelunasan utang ditanggung sampai dengan 1949, itu sama artinya Indonesia membiayai sendiri berbagai penyerangan yang dilakukan Belanda terhadap RI selama masa revolusi fisik, termasuk dua kali agresi militer yang memakan banyak korban jiwa dan materi.

Perundingan sempat buntu. Tapi akhirnya, pada 24 Oktober 1949, dibuatlah persetujuan bahwa Republik Indonesia Serikat (RIS)—negara federasi pengganti RI setelah pengakuan kedaulatan—akan mengambil-alih utang Belanda (Iin Nur Insaniwati, Mohamad Roem: Karier Politik dan Perjuangannya 1924-1968, 2002: 93).

Prof. Dr. Boediono dalam Ekonomi Indonesia (2017) menguraikan lebih rinci hasil KMB antara Indonesia dan Belanda di bidang ekonomi yang dituangkan dalam Kesepakatan Ekonomi Keuangan atau Financial-Economic-Agreement (hlm. 87).

Pertama, perusahaan-perusahaan Belanda diperbolehkan beroperasi kembali seperti sebelum perang, termasuk kebebasan untuk mentransfer keuntungannya.

Kedua, Indonesia menanggung pembayaran utang pemerintah Hindia Belanda sebesar 1,13 miliar dolar AS.

Ketiga, pemerintah Indonesia perlu berkonsultasi atau bahkan meminta persetujuan dari Belanda untuk kebijakan tertentu, misalnya nasionalisasi.

Dan keempat, Indonesia harus menanggung pembiayaan 17 ribu karyawan eks Belanda yang berada di Indonesia selama 2 tahun, serta menampung 26 ribu tentara mantan KNIL.

Namun, sebagai imbalan atas beban yang berat ini, pemerintah Indonesia tidak diwajibkan memberi jaminan apapun kepada Belanda untuk pembayaran utang atau pinjaman yang berjumlah amat besar tersebut.

Manuver Sukarno dan Pemerintah

Urusan pembayaran utang tentunya menjadi persoalan yang menyulitkan bagi Indonesia. Ini terjadi lantaran setelah penyerahan kedaulatan, yakni pada awal 1950, pemerintah masih harus menghadapi berbagai masalah perekonomian lainnya.

Sebagai negara yang baru saja berdiri, perekonomian Indonesia dihadapkan pada kenyataan bahwa kondisi sarana dan prasarana produksi mengalami kerusakan berat sebagai dampak selama masa perang (1945-1949). Birokrasi pemerintahan Indonesia juga belum mapan dan belum berjalan dengan baik.

Tak hanya itu. Konstelasi kekuasaan ekonomi dan kemampuan ekonomi antara kelompok sosial di Indonesia ternyata tidak jauh berbeda dengan masa kolonial Hindia Belanda.

Pemerintah Indonesia semakin terbebani tuntutan masyarakat yang sangat berharap adanya perbaikan kehidupan. Sementara itu, menurut Boediono, kalangan elite juga sudah tidak sabar lagi untuk menjadi pelaku dan pemegang kendali utama ekonomi nasional (hlm. 87).

Lantas, apa yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia?

Di bawah komando Presiden Sukarno, Indonesia melakukan manuver yang mengejutkan. Robert Edward Elson dalam The Idea of Indonesia: Sejarah Pemikiran dan Gagasan (2008) menyebut, pada April 1956 Sukarno secara sepihak membatalkan Uni Indonesia-Belanda yang sebelumnya disepakati dalam rangkaian KMB (hlm. 288).

Uni Indonesia-Belanda disepakati pada 17 September 1949, yakni suatu pemerintahan yang dikepalai oleh Ratu Belanda untuk mengurus kepentingan bersama. Indonesia menyepakati ini karena Ratu Belanda tidak mempunyai hak-hak konstitusional, melainkan hanya sebagai simbol kerjasama kedua belah pihak (Insaniwati, 2002: 94).

Lebih dari itu, pada Agustus 1956, Sukarno dikabarkan mengabaikan utang-utang yang dibebankan dalam KMB (Elson, 2009: 288). Bahkan, Sukarno juga menyatakan Irian Barat sebagai provinsi otonom Indonesia (Suluh Indonesia, 21 Agustus 1956). Persoalan utang-piutang dan Irian Barat memang dua persoalan paling rumit dalam KMB. Status Irian Barat kala itu pun masih mengambang.

Sebagai penegasan bahwa Uni Indonesia-Belanda atau Republik Indonesia Serikat (RIS) tidak diindahkan lagi, Sukarno semakin sering menyerukan konsep satu negara kesatuan Republik dari Sabang sampai Merauke (Jusuf Puar, ed., Risalah Musyawarah Nasional Pembangunan, Volume 1, 1957.

Utang Tumbal Kedaulatan

Pada November 1957, Resolusi Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyerukan kepada Indonesia dan Belanda untuk berunding mengenai persoalan pembayaran utang dan masalah Irian Barat.

Menanggapi seruan PBB itu, Sukarno kecewa. Ia justru mengkampanyekan nasionalisasi aset-aset Belanda yang membuat para pemodal Belanda hengkang dari tanah air. Mengenai Irian Barat, Sukarno menegaskan bahwa waktu “berbicara baik-baik” mengenai masalah ini sudah habis (Suluh Indonesia, 16 Agustus 1958).

Selama tahun-tahun awal setelah pengakuan kedaulatan, pemerintah Indonesia menerapkan strategi tambal-sulam. Indonesia mengajukan pinjaman kepada negara-negara Blok Timur, yakni Uni Soviet dan sekutu-sekutunya, yang sebagian besar hasilnya digunakan untuk membayar utang warisan Belanda.

Ketika Sukarno memutuskan untuk mengabaikan pembayaran utang warisan Belanda pada 1956, Indonesia sebenarnya sudah melunasi sebagian utang tersebut hingga 82 persen. Meski demikian, Sukarno terus saja berutang kepada negara-negara Blok Timur. Memang pada akhirnya tidak semua butir-butir hasil KMB dipenuhi atau dilaksanakan (Boediono, 2017: 88).

Berakhirnya Orde Lama pimpinan Sukarno, yang gejalanya mulai tampak setelah peristiwa Gerakan 30 September 1965, tidak membuat utang-utang Indonesia terlunasi. Soeharto selaku presiden RI berikutnya harus menanggung beban utang warisan tersebut.

Hingga akhir 1965, beban pinjaman pemerintah Indonesia mencapai 2,36 miliar dolar AS, naik dua kali lipat ketimbang utang warisan Belanda hasil KMB tahun 1949. Sekitar 59,5 persen utang tersebut merupakan pinjaman kepada negara-negara komunis (M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2008, 2008: 602).

Soeharto mengikuti jejak pendahulunya dalam hal utang. Pemerintahannya terus meminjam uang, walaupun bukan lagi dari Blok Timur, melainkan dari Blok Barat, terutama Amerika Serikat. Dan besaran utang sebagai “tumbal” pengakuan kedaulatan itu terus-menerus diwariskan kepada presiden-presiden RI berikutnya, hingga kini. (tirto.id)