Pergulatan Idealisme dan Pragmatisme
BUKU Orang-Orang Proyek mengisahkan perang batin seorang kepala pelaksana proyek. Idealisme versus pragmatisme bertarung begitu dahsyat. Jiwanya memberontak, namun tidak bisa menolak. Pembangunan telanjur menjadi bancakan secara masif, terstruktur, dan sistematis. Mulai dari pejabat paling atas hingga masyarakat awam.
Novel yang terbit pertama kali pada tahun 2002 ini berlatar tahun 1991 dengan pemimpin tunggal Orde Baru. Namun, suasana dalam novel ini masih terasa hingga kini. Pejabatnya korup, rakyatnya melarat. Sementara aktivis kampus yang dulu lantang membela rakyat dan teriak anti korupsi, setelah lulus dan memangku jabatan malah bukan hanya bungkam tapi korupsi juga.
Adalah Ir. Kabul yang setiap saat batinnya selalu dipenuhi suasana tegang. Idealisme yang disiram dan dipupuk selama menjadi aktifis di bangku kuliah malah dibabat habis budaya pragmatisme di dunia kerja. Teori pembangunan yang dipelajari di kampus tak lebih dari sekadar retorika ketika berhadapan dengan dunia nyata.
Ia menginginkan proyek pembangunan jembatan di sebuah desa yang ditangani dilaksanakan secara baik dengan mutu bangunan berkualitas. Namun, manajer proyek mengabaikannya. Prinsip pemborong, makin banyak infrastruktur rusak makin banyak yang bisa diborong.
Proyek itu sejak dari sono-nya memang sudah menyimpang. Tujuan pembangunan jembatan untuk kepentingan meraup suara partai penguasa pada pemilu. Preses lelang penuh kolusi dan korupsi, bahkan mulai tingkat prakualifikasi. Penentuan awal pekerjaan menyalahi rekomendasi para perancang.
Pemborong sudah tahu, dalam perhitungan yang wajar rekanan proyek tidak mungkin untung, bahkan minus. Namun, karena bisa bermain, perusahaan tetap jalan, bahkan makin kaya. Triknya, kuantitas dan kualitas barang yang dibeli untuk proyek dikurangi di sana-sini.
Kabul sebagai insinyur tahu betul dampak dari permainan. Mutu proyek akan menjadi taruhan. Padahal, bila mutu proyek dipermainkan, masyarakatlah yang nanti menanggung akibat buruknya. Bagi Kabul, hal ini adalah pengkhianatan terhadap derajat keinsinyurannya.
Atasannya menganggap Kabul hidup di awang-awang. “Pijaklah bumi dan lihatlah sekeliling. Seperti sudah pernah kukatakan, orang proyek seperti kita harus pandai-pandai bermain,” ajak kompromi Ir. Dalkijo, sang manajer proyek (hlm. 30).
Kabul makin tidak kerasan di dunia proyek. Kebocoran proyek makin menganga. Pelakunya bukan hanya Dalkijo. Mandor yang mencatat penerimaan material pun pandai bermain. DPRD minta jatah. Partai penguasa minta setoran untuk biaya pelaksanaan HUT. Panitia pembangunan masjid minta bahan proyek. Dan rakyat ikut-ikutan mengambil bahan proyek dengan menyuap.
Namun, mundur bukan solusi bijak. Selain penghasilan Kabul untuk menghidupi ibu dan terutama kedua adiknya yang masih kuliah, jika pelaksana proyek dipasrahkan kepada orang lain bukan lantas penyimpangan akan berakhir, malah bisa semakin masif. Yang bisa Kabul lakukan adalah bertahan dengan berupaya meminimalisasi penyimpangan.
Ahmad Tohari menutup cerita dengan kemenangan Kabul merawat idealismenya, dan kekalahan menghentikan kebejatan atasannya. Kabul berhenti dari proyek yang hanya berumur satu tahun itu bebeberapa hari sebelum diresmikan oleh wakil presiden.
Cerita fiksi ini makin menguatkan ungkapan bahwa kebenaran yang tak terorganisir akan dikalahkan oleh kebatilan yang terorganisir. Kabul sebagai simbol kebenaran yang hanya berjuang seorang diri menegakkan kejujuran terkalahkan oleh Dalkijo yang memiliki banyak jaringan pertemanan yang sealiran: korup.
Ahmad Tohari mengemas alur cerita secara sederhana dengan latar pedesaan, namun pembaca dibuat tak sabar ingin segera tahu episode cerita selanjutnya. Kisah percintaan Kabul dan Wati menjadi selingan, sehingga alur cerita tidak monoton hanya tentang dunia gelap proyek. (*)
*M. Kamil Akhyari, pecinta buku, tinggal di Sumenep.
Data Buku
Judul: Orang-orang Proyek
Penulis: Ahmad Tohari
Peresensi: M. Kamil Akhyari
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Terbitan: Ketiga, April 2016
Tebal: 256 halaman
ISBN : 978-602-03-2059-5