Transkrip Kata-kata Agus Sunyoto dalam Acara Bedah Buku Fatwa dan Resolusi Jihad
Rumah Baca Orid
Buku ini sudah diakui oleh museum kebangkitan Nasional, sudah diakui oleh Kementerian Pertahanan dan Kementerian Kebudayaan. Rencananya, Kementerian Pertahanan akan membedah buku ini di 20 kota besar di Indonesia. Launching pertama akan dilaksanakan di Museum Kebangkitan Nasional tanggal 10 November 2017. Pondok Pesantren Lirboyo Kediri mendapat kehormatan untuk ditempati acara bedah buku ini yang dilaksanakan pada Jum’at 3 November 2017.
Setelah bermuqadimah, menyampaikan salam hormat kepada para masyayikh lirboyo, Kiai Agus Sunyoto menyampaikan:
Kita bahas tentang fatwa dan resolusi jihad. Ini buku pertama yang membahas fatwa dan resolusi jihad. Kenapa begitu? Karena semua pelaku sejarah pertempuran 10 November, tidak ada yang mau mengakui fatwa dan resolusi jihad itu pernah ada.
Tulisanya Prof. Ruslan Abdul Gani, yang ikut terlibat gak ada menyebutkan ini pernah ada. Bung Tomo yang pidato teriak-teriak, dalam bukunya gak pernah menyebutkan bahwa fatwa dan resolusi jihad pernah ada. Laporan tulisan Mayor Jendral Sungkono juga gak menyebut pernah ada fatwa dan resolusi jihad.
Jadi semua buku yang bercerita tentang pristiwa bersejarah hari pahlawan tidak menyinggung pernah ada fatwa dan resolusi jihad NU. Karena itu banyak orang menganggap fatwa dan resolusi jihad itu hanya dongeng dan ceritanya orang NU saja.
Sampai tahun 2014 kemarin, di perguruan tinggi negeri besar di Jakarta, diadakan seminar nasional tentang perjuangan menegakkan Negara Republik Indonesia. Para doktor, profesor dan ahli sejarah yang ada di situ sepakat mengatakan “Diantara elemen bangsa Indonesia, yang tidak memiliki peran dan andil dalam usaha kemerdekaan dan mempertahankan kemerdekaan bangsa Indonesia itu hanya golongan pesantren, khususnya NU,” kesimpulanya begitu.
Bahkan, dengan sinis salah seorang menyatakan “Organisasi PKI itu saja pernah berjasa. Karena pernah melakukan pemberontakan tahun 1926 melawan belanda. NU tidak pernah,” Ini faktanya. Dari banyak aspek, sejarahnya tokoh-tokoh ulama dari pesantren dihilangkan. Data-data tentang itu ditutupi semua, supaya tidak ada yang tahu bahwa pesantren pernah berjasa.
Itulah yang kemudian membikin saya menyusun ini. Bulan November 2015 mulai saya susun, saya kumpulkan data. Waktu saya jadi wartawan Jawa Pos tahun 1985 itu dapat tugas macam-macam, mewawancarai tokoh-tokoh yang terlibat dalam peristiwa 10 November, dalam peristiwa pemberontakan di Madiun. Dari situ saya mendapat informasi bahwa fatwa jihad memang ada, tapi tidak perlu diakui. Ya ada usaha seperti itu, menutupi sejarah Indonesia yang sebenarnya.
Kenapa ini terjadi? Karena orang-orang sekolah didikan Belanda itu yang menjadi penguasa Negara Republik Indonesia sejak dibentuk tahun 1945. Itu yang ngisi itu semua mayoritas orang-orang didikan sekolah Belanda dan mereka yang menyusun sejarah. Mereka yang menyusun tata aturan bagi masyarakat Indonesia.
Jadi, kelompok sarjana-sarjana ini, didikan Belanda ini, menggambarkan bangsa Indonesia setelah merdeka terdiri dari 3 lapisan golongan. Golongan atas, golongan menengah dan golongan bawah.
Ini pertama kali saya dengar dari ceritanya Gus Dur langsung tahun 1991. Kemudian cerita ini saya konfirmasikan dengan teman-teman di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) ternyata benar. Pandangan mereka seperti itu, saya konfirmasikan dengan tokoh-tokoh senior, iya (sama-red).
Jadi pandangan mereka (orang-orang sekolah didikan Belanda-red) di Indonesia ada tiga lapisan golongan yang terdiri dari atas, tengah, dan bawah. Lapisan atas, yakni kalangan elit, politik yang tinggi adalah golongan orang-orang cerdas, orang-orang pintar yang punya latar belakang pendidikan tinggi. Yang mereka maksud latar belakang pendidikan itu adalah sekolah. Jadi wong pinter sing sekolah tinggi ini menduduki lapisan atas. Elit politik, elit ekonomi, yang nguasai Negara harus wong pintar-pintar ini.
Setelah itu golongan menengah. Yang disebut golongan menengah itu adalah golongan orang biasa, tidak pinter, tidak cerdas, juga tidak bodoh, tapi berpendidikan. Ini golongan menengah.
Setelah itu golongan bawah. Yaitu golongan masarakat bodoh. Yang tidak berpendidikan, gak sekolah, itu seluruh Indonesia, menurut pandangan orang-orang sekolah didikan Belanda. (gambaran ada 3 golongan ini berlaku di seluruh Indonesia-red).
Menurut pandangan orang-orang didikan sekolah belanda, tiga lapisan ini dibagi dua. Artinya ada 6 kelompok di situ. Yang atas, orang cerdas yang berpendidikan tinggi. Kalau agamanya kuat pasti Masyumi. Kalau agamanya lemah, itu PSI, orang sosialis.
Kalangan menengah, itu orang biasa tapi punya latar belakang pendidikan. Dibagi dua, Yang agamanya kuat pasti Muhammadiyah. Yang lemah PNI (sekarang menjadi PDI-P-red).
Setelah itu lapisan paling bawah. Orang-orang bodoh yang tidak berpendidikan. Nek agomone kuat, NU. Nek agomone lemah, PKI. (ger, terdengan riuh tawa audien di gedung LBM Pondok Pesantren Lirboyo menggema-red).
Itu sebabnya, kalangan atas ini merekayasa sejarah. Bagaimana kalangan bawah ini tidak memiliki peran apapun di Negara ini. Sekalipun faktanya tidak seperti itu. Mereka memanipulasi sejarah, memutar balik sejarah. Dimana data ini ada di negeri Inggris, Belanda, dst. Dengan keyakinan, tidak mungkin orang pesantren mampu menembus ke dokumen ini, di negeri Belanda, Inggris, Perancis atau dimana pun. Itulah mereka memutar balik fakta seperti itu.
Nah, inilah yang kemudian kita bikin tulisan ini. Awalnya tahun 1990, waktu itu peringatan 45 tahun pertempuran 10 November tahun 1990. dan kita tahu dalam peringatan itu yang jadi pahlawan besar dalam pertempuran 10 November adalah golongan atas ini. Orang terpelajar yang berpendidikan tinggi. Nama-nama mereka muncul. Saat itu tersebar di televisi, koran, dan majalah memuat itu.
Nyai Sholihah, ibunya Gus Dur, waktu itu memanggil Gus Dur. Beliau bertanya “itu ceritone 10 November yang berjasa itu harusnya kiai Hasyim Asy’ari dan poro kiai. Kok bisa yang jadi pahlawan itu wong-wong sosialis?. Dari situlah Gus Dur diminta untuk klarifikasi. Lalu Gus Dur klarifikasi, menemui tokoh-tokoh tua, senior dikalangan kelompok sosialis, mengenai hari pahlawan 10 November. Ternyata jawabanya sederhana, sambil ketawa-ketawa mereka menjawab, yang namanya sejarah dari dulu kan selalu berulang Gus, bahwa sejarah sudah mencatat, “Orang bodoh itu makanannya orang pintar. Yang berjasa orang bodo, yang jadi pahlawan wong pinter,” itu biasa.
Wah itu Gus Dur marah betul dibegitukan. Berarti mereka sampai tahun 1990 masih nganggap NU bodoh. Itulah, tahun 1991 Gus Dur melakukan kaderisasi besar-besaran anak muda NU. Anak-anak dilatih untuk mengenal analisis sosial (ansos) pertama kali. Teori-teori sosial diajarkan sama Gus Dur ke anak-anak, filsafat, sejarah, apapun. Geopolitik, geostrategi, diajari anak-anak supaya tidak lagi dianggap bodoh, dan kemudian berkembang. Saya termasuk yang ikut pertama kali kaderisasi itu, karena itu agak faham.
Itulah, seluruh penulis sejarah Indonesia menyatakan fatwa dan resolusi jihad tidak ada. Tapi ternyata saya menemukan tulisannya seorang sarjana, sejarawan Amerika Benedict Anderson. Dalam tulisanya tentang penjajahan jepang di Indonesia 1942 sampai 1945 di Indonesia.
Beliau menyatakan, tanggal 22 Oktober pernah ada resolusi jihad yang dikeluarkan oleh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PB NU) di Surabaya. Bagaimana Benedict Anderson ini menyatakan bahwa tanggal 22 Oktober 1945 itu ada resolusi jihad? Ternyata beliau memiliki sumber dasar. Karena apa? Setelah resolusi jihad dikumandangkan tanggal 22 Oktober, tanggal 25 Oktober kantor berita Antara yaitu kantor berita nasional memuat secara lengkap resolusi jihad, Kantor berita Negara itu. Tanggal 27 Oktober Koran Kedaulatan Rakyat juga memuat secara lengkap resolusi jihad. Ada lagi, Koran Suara Masyarakat di Jakarta, juga memuat resolusi jihad.
Artinya, peristiwa ini ada sekalipun wong Indonesia tidak mau menulis bahwa itu ada. Karena menganggap NU yang mengeluarkan ini golongan lapisan bawah. Dimanipulasi.
Disitulah kita temukan, kita patahkan pandangan orang yang mengatakan NU satu-satunya elemen bangsa Indonesia yang tidak memiliki peran apapun dalam bina Negara Republik Indonesia. Di situ kita buka, kita bongkar dokumen-dokumen lama yang sebagian besar berbahasa Belanda, bahasa Inggris, bahasa Perancis dan sebagainya, termasuk bahasa Jepang.
***
Disitu kita dapat, ketika Indonesia pertama kali merdeka tidak punya tentara, tidak ada tentara. Baru dua bulan kemudian diadakan tentara. Agustus, September, Oktober. 5 Oktober dibentuk tentara keamanan rakyat (TKR). Ini dokumen Negara, silakan dibaca di sekretariat Negara, di arsip nasional ini semua ada. Nah, dengan dibentuknya ini Negara Indonesia sudah punya tentara. Tanggal 10 Oktober diumumkanlah jumlah tentara keamanan rakyat di jawa saja. Belum Sumatra dll. Itu ternyata TKR di jawa jumlahnya 10 divisi. 1 divisi isinya 10.000 prajurit. Terdiri dari 3 resimen, terdiri dari 15 batalyon. Jadi 10 divisi artinya TKR jumlahnya 100.000 pasukan. Itu TKR pertama yang nanti menjadi TNI.
Dari pernyataan data TKR yang dikeluarkan pemerintah tanggal 10 Oktober 1945 kita tahu, bahwa komandan divisi pertama TKR itu adalah Kolonel KH. Sam’un. Kiai, pengasuh pesantren di Banten. Komandan divisi ketiga adalah kolonel KH. Arwiji Kartawinata. Ini di Tasikmalaya. Pangkatnya kolonel. Kiai haji, sampai tingkat resimen sama, resimen 17 dipimpin letnan kolonel KH. Iskandar Idris. Resimen 8 dipimpin letnan kolonel KH. Yunus Anis. Sampek komandan batalyon. Komandan batalyon TKR Malang dipimpin mayor KH. Iskandar Sulaiman. Siapa kiai Iskandar Sulaiman ini? Beliau saat itu jabatannya Rois Syuriyah (PC NU-red) Kabupaten Malang.
Poro kiai, ini dokumen Negara, saya gak ngarang. Silakan dibaca di Arsip Nasional kemudian di Sekretariat Negara masih tersimpan. Di pusat sejarah TNI ada semua, bahkan untuk selanjutnya kita lihat komandan divisi pertama TKR kolonel KH. Sam’un beliau ternyata pensiun Brigadir Jendral. Jadi banyak kiai-kiai yang pensiun Brigadir Jendral. Ini sejarah yang selama ini ditutup, termasuk KH. Hasyim Asy’ari dalam pemerintahan Presiden Soekarno, beliau sudah ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional. Tapi silakan dibaca itu buku-buku sejarah anak-anak SD, SMP, SMA, ada gak? KH Hasyim Asy’ari masuk di buku pelajaran itu? Gak ada. Seolah-olah gak pernah ada jasanya dan bukan Pahlawan Nasional. jadi memang yang dari pesantren itu disingkirkan betul dari Negara ini.
Nah, dari situ kita bisa tahu kenapa TKR waktu itu banyak dipimpin poro kiai, karena hanya poro kiai dari pesantren dengan santri-santri yang menjadi tentara itu adalah golongan dari elemen bangsa ini yang mau berjuang sebagai militer tanpa bayaran. Tentara saat itu gak dibayar. Dibayar dari mana? Baru merdeka, duit aja ga punya. Jadi, tentara itu baru menerima bayaran tahun 1950. Selama 1945 sampai perjuangan 1950 itu gak ada bayaran. Dan yang mau melakukan itu hanya poro kiai, dengan tantara-tentara Hizbulloh, lascar-laskar itu gak ada bayaran. Sampai sekarang, NU itu punya tentara swasta namanya Banser, yo gak dibayar. (hahaha… riuh hadirin tertawa-red). Itu fakta. Jadi nanti kita akan tahu bagaimana sampek terjadinya pertempuran 10 November.
10 November ini satu peristiwa paling aneh dalam sejarah. Kenapa? Pertempuran besar yang terjadi setelah perang selesai. Jadi perang dunia itu selesai 15 Agustus. Ketika Jepang menyerah itu perang dunia kedua dinyatakan selesai. Tidak ada lagi perang.
Pasukan Inggris ditugasi ngangkuti interniran dan tawanan Jepang. Tawanan militer yang diangkuti, tugas utamanya itu. Jangan sampek tawanan-tawanan ini menghadapi amuk massa, Diserang massa dipateni kabeh, wah iki bahaya, jadi harus diangkuti.
Bagaimana bisa terjadi perang besar 10 November, wong sudah gak ada perang. Nah, ternyata sebelum pertempuran 10 November ada perang 4 hari di Surabaya. Tanggal 26, 27, 28, 29 Oktober 1945. Bagaimana bisa terjadi perang 4 hari di Surabaya? Karena sebelum tanggal 26, tanggal 22 Oktober ada fatwa dan resolusi jihad dari PB NU, itu yang menyebabkan Surabaya bergolak. Jadi tentara Inggris sendiri aslinya tidak pernah berfikir akan perang, akan bertempur dengan penduduk Surabaya, gak pernah mikir mereka, perang selesai kok. Tapi karena masarakat Surabaya terpengaruh fatwa dan resolusi jihad, siap nyerang Inggris, yang waktu itu mendarat di Surabaya. Ini sejarah yang selama ini ditutupi.
Justru karena dengan sejarah yang ditutupi, tidak mengakui fatwa dan resolusi jihad dan tidak mengakui ada perang 4 hari di Surabaya, orang yang membaca sekilas peristiwa 10 November akan menganggap tentara Inggris gak waras.
Lapo ngebomi kota Surabaya tanpa sebab, untuk apa? Tapi kalo melihat rangkaian ini, baru masuk akal. ya marah mereka karena Jendralnya terbunuh, pasukanya dibunuh bonek-bonek Suroboyo, (hahahaha audiens ngakak-red).
Kenapa harus ada fatwa dan resolusi jihad? Karena Presiden Soekarno meminta fatwa kepada PB NU, “Mbah Hasyim, apa yang harus dilakukan warga Negara Indonesia kalo diserang musuh? Karena Belanda ingin kembali menguasai Indonesia”. Disitulah bung karno juga menyatakan bagaimana caranya supaya Negara Indonesia diakui oleh Negara di dunia, karena sejak diproklamasikan 17 Agustus dan Negara dibentuk 18 Agustus tidak ada satupun Negara di dunia yang mau mengakui Indonesia. Karena Negara Indonesia diberitakan adalah Negara boneka bikinan Jepang, bukan atas kehendak rakyat. Negoro sing ora dibelani rakyat.
Itulah, fatwa dan resolusi jihad kemudian dimunculkan oleh PB NU, itulah yang akhirnya ketika inggris dateng tanggal 25 Oktober tidak diperbolehkan masuk Surabaya, karena penduduk Surabaya sudah siap perang. Ternyata sore, Gubernur Jawa Timur mempersilahkan. Silahkan Inggris masuk tapi di tempat yang secukupnya saja. Ditunjukkan beberapa lokasi, kemudian masuk. Tanggal 26 Oktober ternyata tantara Inggris membangun pos-pos pertahanan Inggris. Karung-karung pasir ditumpuk kemudian dikasih senapan mesin. Bikin begitu banyak, lho ini apa maunya Inggris, padahal sudah tersebar isu Belanda mau berkuasa dengan membonceng tentara Inggris
Dengan munculnya pos-pos pertahanan tanggal 26 Oktober sore hari, pos pertahanan itu diserang massa. Penduduk Surabaya dari kampung-kampung keluar nawur pasukan Inggris. “Ayo tawur, tawuran…” dan peristiwa itu memang betul. Para pelaku mengatakan, “Itu duduk perang mas, itu tawuran”. Kenapa? “Gak ada komandannya, gak ada yang mimpin. Pokoe wong krungu jihad, jihad, Mbah Hasyim, Mbah Hasyim, jihad, sudah, keluar semua langsung tawur. Sambil teriak Allahu akbar…”
Jadi ini betul, memang bukan perang karena gak ada komandanya. Keluar dari kampung-kampung, kenapa? Karena seruan jihad itu disiarkan lewat langar-langgar, masjid, lewat spiker-spiker itu, langsung jihad, tawur, dan itu berlangsung 27 Oktober. Besoknya perang lagi, tanggal 28 Oktober yang namanya tentara kepengaruh bonek. Melu nawuri Inggris. Namanya tentara kan terlatih, langsung massa dipimpin, ayo lewat sini.
Dalam pertempuran 28 Oktober ini, 1000 lebih tentara Inggris mati dibunuh. Tapi tentara gak ngakoni, karena mereka tantara, kenapa? Indonesia merdeka, negoro belum ada yang mengakui, mosok tentara wes mateni tentara Inggris, O…, itu urusan besar nanti. Itu ikhtiyar arek Suroboyo kabeh. Ya orang-orang Surabaya aja. Itu yang diteriakkan selalu “Arek-arek Suroboyo” karena apa? Tentara gak mau ikut campur disitu.
Negoro durung ono sing ngakui, wes mateni tentara Inggris. Sampek tanggal 29 Oktober pertempuran itu masih terjadi. Disitulah pihak Inggris mendatangkan Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohamad Hatta, datang, didamaikan, tanggal 30 Oktober ditanda tangani kesepakatan damai, tidak tembak-menembak. Itu kan Gubernur Jawa Timur, pimpinan Jawa Timur, wong sing tawuran rakyat, gak ada hubunganya rakyat dengan Gubernur. Gubernure wes tanda tangan, massa kampung gak mau. Itulah tanggal 30 Oktober Brigadir Jendral Mallaby digranat arek Suroboyo, (blengngngng.. mati wes-red).
Inggris ngamuk betul, “maksude opo wong-wong iki? Perang sudah selesai, pasukan Inggris diserang, Jendrale dipateni”. Panglima tertinggi Jenderal lnggris Phillip Christison marah. Kemudian ngancam “Kalau sampai tanggal 9 November jam 6 sore pembunuhnya Mallaby tidak diserahkan, dan tanggal itu orang-orang Surabaya yang masih memegang bedil, meriam dan seterusnya tidak menyerahkan senjata-nya kepada tentara Inggris, tanggal 10 November jam 6 pagi Surabaya akan dibombardir. Darat, laut, udara. Datanglah tujuh kapal perang, langsung di pelabuhan Tanjung Perak itu, meriamnya sudah diarahkan ke Surabaya. Dan kemudian meriam Howidser diturunkan dari kapal. Ini khusus untuk menghancurkan bangunan dan kemudian satu squadron pesawat tempur dan pesawat pengebom. Memang mau dihabisi Surabaya itu. Karen mereka marah.
Di situlah tanggal 9 November jam setengah empat sore setelah Mbah Hasyim pulang dari konferensi Masyumi di Jogjakarta, (beliau Ketua Masyumi waktu itu-red), beliau pulang ke Surabaya mendengar ancaman itu dan menyaksikan sendiri bagaimana blokade mau menghancurkan Surabaya, langsung beliau menjawab, fatwa. “Fardhu ain bagi semua umat Islam yang berada dalam jarak 94 kilometer dari kota Surabaya untuk membela kota Surabaya”. Ya, 94 kilo itu jarak dibolehkannya solat qosor. Wilayah Sidoarjo, Mojokerto, Malang, Pasuruan, Jombang itu kan gak sampe 90 kilometer, dateng semua. Kediri juga datang, kita catat semua. Bahkan dari Lirboyo ini dalam catatan, dipimpin Kiai Mahrus. Jadi seruan itu langsung disambut luar biasa. Bahkan Cirebon yang lebih dari 500 kilometer datang ke Suroboyo.
Kemudian Kiai Agus Sunyoto mengisahkan hiruk pikuk pertempuran. Mulai dari jumlah pasukan, jenis senjata, siapa saja yang ikut perang, termasuk anak-anak kecil, bahkan orang-orang dari lintas Agama juga ikut perang. Orang Kong Hucu, Kristen, Budha semua ikut jihad. Selain menewaskan Jendral Mallaby, pertempuran di Surabaya juga menewaskan seorang Brigadir Jendral yang bernama Brigjend Lodder Symmond. Jadi peristiwa pertempuran Surabaya itu menewaskan dua orang Jendral Inggris. (diramu dari Facebook, di selaraskan oleh Ahmad Fairozi)