Resolusi Jihad Gelorakan Semangat Rakyat Surabaya


Surabaya, Rumah Baca Orid

Ada tiga alasan mengapa rakyat Surabaya ketika masa perang melawan sekutu bisa begitu gigih dan sangat berani.

Dilansir Republika, Pertama, rakyat sudah memiliki senjata hasil rampasan dari Jepang dan kemudian mereka dilatih menembak oleh Polisi Istimewa.

Kedua, semangat arek-arek Surabaya memang menyala-nyala dan hampir di seluruh Surabaya itu melakukan perlawanan. Sehingga, itu menjadi kekuatan yang luar biasa.

Ketiga, yaitu karena adanya fatwa jihad yang memperkuat semangat berjuang para arek-arek Surabaya. Kebanyakan dari pejuang kala itu beragama Islam. Pendapat itu disampaikan sejarawan dari Universitas Negeri Surabaya Aminuddin Kasdi.

Fatwa jihad itulah yang menurut Aminuddin kemudian menjadi salah satu tolak ukur mengapa perjuangan arek-arek Surabaya bisa begitu lama dan juga menyeluruh di seluruh kota dan sekitarnya tanpa ada pimpinan tertinggi.

“Di situ tidak ada komandan tertinggi, mereka bergotong royong. Bahkan Bung Tomo memberikan komando diterima saja oleh berbagai pihak. Padahal Bung Tomo bukan seorang pejabat, tapi dia memang bersuara lantang dan pengabdiannya itu sepenuhnya kepada RI ini,” ujar Aminuddin, Jumat 10 November 2017.

Berbicara soal fatwa jihad, erat kaitannya dengan Resolusi Jihad yang dikeluarkan oleh Nahdlatul Ulama (NU) pada 22 Oktober 1945. Resolusi yang dihasilkan dari rapat selama dua hari dalam pertemuan konsul NU se-Jawa-Madura di Hof Bestuur (Kantor Pusat) NU.

Gedung tersebut terletak di Jalan Bubutan VI No 2, Surabaya, Jawa Timur. Hingga kini, gedung itu masih ada dan masih belum berubah bentuk pada bangunan induknya. Ada tambahan tiga lantai di bagian belakang gedung yang kini menjadi kantor Pengurus Cabang NU (PCNU) Kota Surabaya itu.

Sang Ketua PCNU Kota Surabaya Ahmad Muhibbin Zuhri menjelaskan, pada era revolusi, kantornya itu menjadi markas perjuangan bagi para ulama. Termasuk menjadi tempat merumuskan resolusi jihad.

“Resolusi jihad itu intinya dua. Pertama, seruan kepada pemerintah untuk menyatakan sikap yang tegas terhadap sekutu. Kedua, supaya mengumumkan perang atau jihad perlawanan fisik kepada mereka,” jelas Muhibbin di biliknya di Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, Jumat 3 November 2017 pagi.

Menurutnya, banyak orang yang salah mengira dan menganggap resolusi jihad itu sama dengan fatwa jihad. Resolusi jihad, kata Muhibbin, berbeda dengan fatwa jihad. Resolusi jihad bukan berisi fatwa jihad di dalamnya.

“Resolusi itu kan tuntutan, desakan kepada pemerintah waktu itu. Sedangkan fatwa itu mengikat kepada umat,” ujarnya.

Ia menjelaskan, resolusi jihad itu merupakan desakkan dari konsul NU se-Jawa-Maruda kepada pemerintahan Soekarno untuk bersikap tegas. Kala itu, pemerintah agak bimbang karena yang mereka hadapi itu adalah Inggris dan sekutunya yang menjadi pemenang pada perang dunia kedua.

Kalau fatwa jihad, fatwa yang dikeluarkan oleh KH Hasyim Al Asy’ari, itu untuk memberikan resonansi yang luar biasa kepada kekuatan sipil alias rakyat untuk bergerak. Karena jika ulama mengatakan hukumnya wajib, kalau tidak dilakukan akan berdosa.

Fatwa Jihad Hukumnya Fardu Ain

Muhibbin menuturkan, isi fatwa jihad ada tiga, yaitu fardu ain atau wajib hukumnya bagi Muslim yang berada di dalam radius sekitar 90 kilomenter, siapa pun itu baik lelaki maupun perempuan, untuk melakukan perlawanan fisik melawan penjajah. Kedua, apabila mati dalam pertempuran, maka matinya adalah mati syahid.

“Ketiga, siapa pun yang menjadi antek atau bekerja sama dengan sekutu, wajib hukumnya dibunuh. Fatwa jihad itu dikeluarkan di Tebuireng, Jombang, yang kemudian dibawa ke Surabaya dan dibacakan pada rapat yang menghasilkan resolusi jihad,” terang Muhibbin.

Usai dikeluarkan, fatwa jihad itu kemudian menimbulkan hirah spiritual atau keagamaan yang sangat besar. Motif perjuangan kebanyakan rakyat Surabaya kala itu adalah motif agama, membela Tanah Air yang menjadi bagian dari keimanan.

“Demikianlah sehingga terjadi pergolakan-pergolakan fisik di tingkat lokal. Peristiwa 10 November itu bukan merupakan pertempuran tunggal, tapi didahului oleh suatu gerakan massa yang didorong oleh fatwa jihad itu,” kata dia.

Bahkan, Muhibbin menilai, peran fatwa dan resolusi jihad itu, kata Muhibbin, begitu besar. Sampai-sampai menurutnya, tanpa adanya kedua hal itu, tidak akan pernah terjadi sejarah 10 November. Tentara Indonesia kala itu masih sangat muda usianya. Kekuatan militer belum terkonsolidasi dengan baik.

“Bagaimana mau menghadapi sekutu pemenang perang dunia kedua? Karena itu Bung Karno, dia menemukan satu kunci, yaitu harus rakyat yang bergerak secara masif. Dia juga tahu, tidak mungkin pemimpin-pemimpin politik bisa menggerakan massa sebesar yang diperlukan untuk melawan kekuatan AFNEI,” terang dia.

Bung Karno, kata Muhibbin, kemudian menemui KH Hasyim Al Asy’ari untuk bertanya bagaimana cara untuk menghadapi sekutu. Bagaimana perspektif agama atau fatwanya untuk melakukan perjuangan dan berharap fatwa itu kemudian memberikan resonansi yang besar.

“Yang kemudian ternyata betul itu (fatwa jihad) menggerakan kekuatan rakyat yang masif itu,” kata dia.

Kemudian, sejak 1956, kantor pusat NU pindah ke Jakarta. Sejak saat itu pula tempat yang menjadi cagar budaya klasfikasi A itu dijadikan kantor PCNU Kota Surabaya. Lokasinya kini tak jauh dari makam Bung Tomo di Gubeng.

Selain menjadi pusat kegiatan administratif perkantoran dalam mengurus kinerja NU di Kota Surabaya, gedung itu juga dijadikan salah satu destinasi wisata sejarah. Di sana juga telah dibangun prasasti atau monumen resolusi jihad di sisi luar bangunan.

“Pelajar dan masyarakat umum bsia mengikuti dinamika perjuangan di mana NU terlibat dengan mendatangi kantor itu. Di sana juga kerap digunakan untuk sekolah kebangsaan,” jelas Muhibbin

Melalui Dinas Pariwisata dan Pendidikan, anak-anak sekolah negeri di Surabaya melakukan pendidikan kebangsaan di sana. Kegiatan itu rutin dilakukan. Mereka berkumpul di sana untuk kemudian bersama para veteran belajar kebangsaan di bagian aula, aula yang digunakan untuk rapat yang menghasilkan keputusan resolusi jihad. (republika/va)