Kesalahan Berbahasa di Sekitar Kita
PELAKSANAAN ujian nasional (UN) 2013 lalu menarik untuk dicermati. Hasil nilai pelajaran Bahasa Indonesia terendah dari semua pelajaran lainnya. Uniknya, nilai Bahasa Indonesia yang diperoleh siswa Jurusan Bahasa SMA ternyata lebih rendah daripada yang diperoleh siswa Jurusan IPA dan IPS (Republika, 24/5/2013).
Fakta ini menunjukkan bahwa menggunakan bahasa Indonesia secara baik dan benar bukan hal sederhana. Sekalipun di antara kita sering berkomunikasi secara lisan maupun tulisan menggunakan bahasa resmi negara tersebut, patut diduga belum sepenuhnya benar. Dan memang tak sulit menemukan kesalahan berbahasa yang hal itu bukan hanya dilakukan oleh orang awam.
Kesalahan penggunaan bahasa Indonesia bisa dibilang sudah masif, mulai dari kesalahan fonologis, morfologis, sintaksis, leksikal dan semantis. Anehnya, kesalahan-kesalahan berbahasa ditiru orang yang tidak melek bahasa, karena yang memproduksi kesalahan bukan orang biasa. Mulai dari pejabat negara hingga media massa.
Tanpa terasa kita sering mendengar/menyaksikan atau bahkan melakukan kesalahan dalam berbahasa Indonesia. Namun, karena tidak ada penilaian seperti siswa yang mengikuti UN tampak biasa-biasa saja. Kita tak sadar ada yang salah dalam pemakaian bahasa Indonesia.
Kesalahan pelafalan yang mudah ditemukan dalam pemakaian bahasa Indonesia di antaranya pelafalan sufiks –kan dilafalkan dengan –kәn. Seperti memuaskan dilafalkan memuaskәn. Pelafalan seperti itu jelas tidak tepat dalam bahasa Indonesia (hlm. 97).
Demikian juga fonem /g/ sering dilafalkan /kh/ atau /j/ seperti energi dilafalkan enerkhi atau enerji, fonem /c/ dilafalkan /k/ seperti pasca dilafalkan paska, dan angka 0 yang berarti “tidak ada apa-apanya” dilafalkan dengan kosong. Dalam Bahasa Indonesia, kesalahan tersebut digolongkan kesalahan fonologis.
Kesalahan fonologis tidak hanya terjadi dalam bahasa lisan tapi juga tulis, seperti asas ditulis azaz, izin ditulis ijin, November ditulis Nopember, dan olahraga ditulis olah raga. Kesalahan juga banyak dijumpai pada pemakaian huruf kapital, preposisi, klitika, dan singkatan.
Sementara kesalahan morfologis yang mudah kita jumpai adalah kesalahan penentuan bentuk awal seperti ubah bentuk asalnya dianggap rubah sehingga ketika mendapat imbuhan me– menjadi merubah. Demikian juga dengan kata terap, kelola, anjur, dan antar bentuk asalnya dianggap trap, lola, lanjur, dan lantar (hlm. 111).
Dalam sintaksis, kita sering menemukan kesalahan penempatan preposisi di, ke, dari, seperti kepada bapak disebut ke bapak, pada guru disebut di guru. Demikian juga pemisahan persona dari verba, seperti saya belum selesaikan mestinya belum saya selesaikan, kita harus pikirkan mestinya harus kita pikirkan (hlm. 135).
Protokol acara (MC) sering mempersilakan dengan mengucapkan kalimat kepada pembicara waktu dan tempat dipersilakan. Kalimat tersebut tidak logis. Kalimat tersebut bisa diubah menjadi kalimat kepada pembicara waktu dan tempat disediakan. Demikian juga dengan ungkapan untuk mempersingkat waktu, acara segera dimulai. Kalimat yang logis adalah untuk mempersingkat acara, diskusi segera dimulai (hlm. 147).
Kesalahan semantis yang mudah kita jumpai /sy/ diganti dengan /s/ atau sebaliknya, seperti syarat ditulis sarat, dan /p/ diganti dengan /f/, seperti polio dijadikan folio. Kesalahan ini disebabkan gejala hiperkorek, yaitu menghendaki kerapian atau kesempurnaan yang berlebih-lebihan. (*)
* M. Kamil Akhyari, Pecinta buku, tinggal di Sumenep.
Data Buku
Judul: Kesalahan Berbahasa: Teori dan Aplikasi
Penulis: Dr. H. Syamsul Ghufron, M.Si
Peresensi: M. Kamil Akhyari
Penerbit: Penerbit Ombak, Yogyakarta
Terbitan: Pertama, 2015
Tebal: 198 halaman
ISBN: 978-602-258-345-5