Fasal tentang Tarhim


TARHIM
ialah suara yang dikumandangkan dari masjid atau mushala dengan maksud membangunkan kaum muslimin muslimat untuk persiapan shalat Shubuh. Lebih dari itu, tarhim membantu membangunkan mereka yang ingin menjalankan shalat tahajjud, karena shalat ini dapat dikerjakan pada saat itu.

Tarhim banyak kita dengar terutama saat bulan suci Ramadhan. Bacaan yang dikumandangkan umumnya bervariasi, ada yang berisi seruan agar kaum muslimin bangun dan siap melakukan shalat shubuh. Ada juga yang mengingatkan pentingnya shalat tahajjud, dan lain-lain.

Setiap masjid Nahdlatul Ulama (NU), bahkan mushalanya juga, bersaut-sautan dengan kalimat-kalimat spesial yang disusun khusus untuk acara tarhim ini. Bisa jadi tarhim ini hanya sekadar mengulang-ngulang hadits:

تَسَحَّرُوا فَإنَّ فِي السَّحُوْرِ بَرَكَةٌ

“Sahurlah kalian karena sahur itu membawa berkah“.

Terkadang ditambah dengan kata-kata dari petugas masjid, misalnya: “Sekarang sudah pukul 03.00 WIB, sebentar lagi subuh, bangun… bangun… sahur… sahur…” Bagi yang ingin berpuasa, tarhim menuntunnya untuk segera makan sahur.

Akhir-akhir ini masjid dan mushala memang lebih banyak memilih memutar kaset ayat-ayat Al-Qur’an karena lebih praktis ketimbang mendatangkan seseorang yang bersedia mengumandangkan alunan lagu yang merdu.

Dulu, orang-orang yang membawakan tarhim dapat didatangkan dari luar daerah dengan upah yang cukup, ditambah hadiah sarung, baju koko, dan lain-lain. Mereka bisa bertiga atau berempat yang tugasnya (di samping mengisi acara tarhim dari pukul 03.00 sampai Subuh) mereka juga bertugas adzan setiap shalat Fardhu.

Seiring perkembangan zaman, kelompok orang-orang tarhim ini sudah tidak banyak ditemui karena diganti kaset Al-Qur’an yang disetel kurang lebih 30-60 menit sebelum waktu adzan dengan disisipi suara dari petugasnya sepuluh menit sebelum Subuh: “Imsaak… imsaak…”

Dalil tarhim ini adalah:

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَمْنَعَنَّ أَحَدَكُمْ أَوْ أَحَدًا مِنْكُمْ أَذَانُ بِلَالٍ مِنْ سَحُورِهِ فَإِنَّهُ يُؤَذِّنُ أَوْ يُنَادِي بِلَيْلٍ لِيَرْجِعَ قَائِمَكُمْ وَلِيُنَبِّهَ نَائِمَكُمْ

Dari Abdullah bin Mas’ud, Rasulullah bersabda: Kalian tak perlu mencegah Bilal untuk adzan sewaktu sahur karena adzan itu bertujuan untuk mengingatkan siapa saja yang masih berjaga dan sekaligus membangunkan yang tertidur. (Fathul Bari Syarh al-Bukhari, Juz II, hlm 244)

Al-Hafizh berkata dalam kitab Al-Fath: “Pernah terjadi sebelum waktu shubuh, dan bukan hari Jum’at, bacaan tasbih dan shalawat atas Nabi, bukan adzan baik dari sisi bahasa maupun agama.”

Dalam Fiqhus Sunnah Juz I, hlm 221-222 terdapat penjelasan bahwa di dalam hadits-hadits lain diterangkan, tarhim yang disuarakan keras itu lebih baik. Namun disuarakan pelan itu lebih baik bila dikhawatirkan munculnya sikap riya’ atau mengganggu orang yang sedang shalat (tahajjud). Dan selagi aman dari hal-hal tersebut, tentu tarhim dengan suara keras akan lebih baik. (*)

*KH. Munawir Abdul Fattah, Pengasuh Pondok Pesantren Krapyak, Yogyakarta.


Sumber: NU Online