Dialektika Nabi dan Masyarakat Arab


NABI
Muhammad merupakan rasul terakhir, dan risalahnya kelanjutan dari utusan-utusan sebelumnya. Namun, tradisi masyarakat Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani) yang mendominasi Madinah tidak diterima begitu saja, dan tidak semua tradisi masyarakat non-Ahli Kitab yang mendominasi Makkah dibuang begitu saja. Islam menyeleksi secara kritis tradisi masyarakat Arab.

Nabi Muhammad memulai dakwahnya di Makkah dengan audiens yang dikenal dengan istilah jahiliyah dan ummi. Istilah ini tidak dalam artian buta literasi, namun lebih kepada bodoh dalam tauhid dan belum pernah membaca kitab suci. Agama mereka mayoritas musyrik, dan sedikit sekali yang beragama Ahli Kitab.

Masyarakat Makkah pra Islam sebenarnya sudah mengenal konsep Tuhan, bahkan sudah mengetahui dan mengakui keberadaan Allah sebagai Tuhan, karena Nabi Ibrahim dan Ismail merupakan nenek moyangnya. Mereka sudah biasa mengerjakan salat di Ka’bah, puasa, zakat, haji, dan i’tikaf. Namun dalam praktiknya, mereka menyekutukan Allah dengan malaikat, jin, dan patung. Orang yang perama kali mengenalkan kemusyrikan dalam bentuk menyembah berhala adalah Amr bin Luhay (hlm. 262-263).

Risalah Nabi Muhammad pada satu sisi menolak dan meluruskan keyakinan mereka yang musyrik dengan menyeru kembali ke agama monoteis Nabi Ibrahim dan Ismail, namun pada sisi yang lain juga menerima dan melanjutkan tradisi yang benar seperti pelaksanaan salat, puasa, zakat, haji, dan i’tikaf.

Di kalangan keluarga Nabi Muhammad sendiri, muncul tiga respons terhadap risalah yang dibawa Nabi Muhammad: kelompok yang menerima dakwah seperti Siti Khadijah dan Ali, individu yang tidak menerima tapi tidak memusuhi seperti Abu Thalib, dan kelompok yang menolak dakwah dan memusihi seperti Mughirah bin Hisyam al-Mahzumi atau yang popular dengan Abu Jahal.

Kelompok yang menentang dakwah Nabi Muhammad berasal dari para pembesar dan orang-orang kaya Makkah. Menurut Izzat Darwazah, penolakan dan permusuhan para pembesar Arab terhadap dakwah Nabi Muhammad karena tiga faktor: (1) menyangkut posisi mereka sebagai elite Makkah dipatuhi, sedangkan dakwah Islam mengajarkan kesetaraan, (2) karakter dakwah Nabi Muhammad yang menghancurkan tradisi yang berbau syirik, fanatisme, pertumpahan darah, ekspolitasi anak, perempuan dan budak, (3) implikasi dari permusuhan dan jalan yang bersebrangan antara pembesar Makkah dan Nabi Muhammad (hlm. 352).

Berbeda dengan masyarakat jahiliyah Makkah yang memerangi Nabi Muhammad dan pengikutnya, respons masyarakat Ahli Kitab Makkah terhadap dakwah Nabi Muhammad, sangat apresiatif dan tidak ada tanda-tanda kekerasan. Menurut Izzat Darwazah, sikap seperti itu muncul lantaran adanya kesamaan antara Al Qur’an dan kitab suci mereka, dan kesamaan itu mendorong mereka untuk memercayai kebenaran risalah kenabian Muhammad dan Al Qur’an (hlm. 382).

Hijrah

Setelah sekitar 13 tahun berdakwah di Makkah, Nabi Muhammad pindah berdakwah di Madinah. Yatsrib (sebelum berganti nama menjadi Madinah) banyak dihuni imigran (Yahudi Israil al-Musta’ribah) dan mayoritas beragama Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani). Di sini Nabi Muhammad menghadapi Ahli Kitab dan orang munafik yang menentang sejak awal kedatangannya.

Selain menentang dakwah Nabi Muhammad yang menolak klaim mereka bahwa kaum Yahudi berada dalam penunjuk berkaitan dengan keyakinan “Uzair adalah Anak Allah”, demikian juga dengan keyakinan masyarakat Nasrani mengklaim terkait “Isa adalah Anak Allah”, Ahli Kitab songmbong, ingkar janji, dan menebar permusuhan secara terang-terangan. Beberapa kali terjadi peperangan. Karena gerakan mereka mengkhawatirkan, Nabi Muhammad mengambil tindakan pengusiran dengan tujuan menakut-nakuti dan menghukum agar tidak ditiru yang lain.

Sejarah kenabian yang dipaparkan Aksin Wijaya ini perspektif Muhammad Izzat Darwazah, cendekiawan multi disiplin ilmu kelahiran Palestina yang karya-karyanya mulai langka. Untuk menyelidiki sejarah kenabian, Izzat Darwazah melacak langsung kepada Al Qur’an. Al Qur’an dijadikan tafsir sejarah kenabian. Ini bedanya dengan kitab-kitab tarikh lainnya yang bersumber pada teks klasik yang bersifat profan.

Untuk mengumpuklan data, metode yang Izzat Darwazah lakukan dengan menyusun Al Qur’an sesuai urutan turunnya, sebuah metode tafsir yang diperkenalkan Theodor Nӧldeke. Alih-alih mengadopsi metode tafsir Nӧldeke, Izzat Darwazah memberikan banyak kiritik terhadap orientalis tersebut dan cendekiawan muslim lainnya. (*)

*M. Kamil Akhyari, pecinta buku, tinggal di Sumenep.


Dialektika Nabi dan Masyarakat Arab

Data Buku
Judul: Sejarah Kenabian
Penulis: Aksin Wijaya
Peresensi: M Kamil Akhyari
Penerbit: Mizan
Terbitan: Pertama, Juni 2016
Tebal: 552 halaman
ISBN: 978-974-433-959-6