Babi


Oleh: Puri Bakthawar*

Bulgo terbangun dengan tubuh berwarna merah jambu. Ia melihat keadaan di sekelilingnya. Sekawanan babi mengerumuninya dengan mata berbinar.

Seekor di antara babi-babi menggigit tengkuk Bulgo, lantas meletakkannya pada jerami yang empuk nan kenyal.

“Betty! Kau melahirkan bayi babi bongsor! Ini keajaiban, aku belum pernah melihat bayi babi sebesar ini!”

“Ssst! Tenanglah! Biarkan Betty beristirahat. Dia hampir mati.”

“Minggir! Berikan Betty tempat beristirahat!”

Baca Juga: Selamanya, Takdir Sukab adalah Penonton Teater Politik

Para babi menyiapkan tempat yang nyaman untuk Betty. Sementara itu Bulgo menangis. Udara dingin menembus kulit merah mudanya yang masih tipis.

“Cepat beri dia susu, Betty. Dia kelaparan.”

“Bagaimana kau bisa melahirkan bayi sebesar itu, Betty?”

“Dia akan tumbuh menjadi babi yang sehat dan gemuk!”

Kegembiraan mengiringi kelahiran Bulgo di dalam kandang babi. Di luar, babi-babi mengganyang apa saja yang tersedia di permukaan tanah. Cacing, sisa-sisa konsentrat, apel yang jatuh dari pohon, serta lumpur dan kotoran menjadi kudapan yang nikmat untuk para babi.

*

Dengan usia kehidupan babi yang pendek,  Bulgo tumbuh dengan cepat. Ia berkawan dengan Lukas, seekor babi bermata satu dengan garis codet yang melintang tepat menyayat mata kirinya.

“Ada apa dengan matamu, Bung?” tanya  Bulgo.

“Luka ini? Aku mendapatkannya ketika berkelahi dengan Alfred, seekor babi pongah yang menjengkelkan. Pada mulanya, aku dan Alfred berkawan baik. Kami sama-sama menyukai si cantik Isabel. Ah, tidak. Aku lebih dulu menyukai Isabel. Berulang kali kukatakan hal itu pada Alfred dan ia berjanji akan membantuku mendapatkan Isabel. Namun Alfred babi yang tengik. Ia diam-diam mencumbu Isabel pada suatu malam setelah semua babi tidur. Aku memergoki kejadian itu dan lantas kami berkelahi. Alfred menyayat mataku pada saat aku terpojok, dengan serpihan kaca yang terserak di medan kami bertarung hingga sebelah mataku buta. Meninggalkan bekas luka ini,” jawab Lukas.

“Oh, ya? Dimana Alfred sekarang? Aku belum pernah mendengar namanya.”

“Si pongah itu disembelih pemilik peternakan beberapa tahun lalu. Dihidangkan sebagai jamuan pada pesta makan malam. Itu hukuman yang setimpal untuknya.”

“Bagaimana dengan Isabel?”

“Isabel?” tukas Lukas. Ia diam sesaat dengan wajah murung. “Isabel pergi. Ia sakit-sakitan semenjak Alfred disembelih. Tubuhnya yang dulu molek dan kenyal menjelma kurus dan ringkih. Pemilik peternakan menjualnya dengan harga murah. Hingga kini aku tak tahu kabar Isabel.”

“Ah, sungguh malang.”

Bulgo menyesal telah mengingatkan Lukas perihal Isabel, yang sontak membuat babi bermata satu itu membiru. Angin berhembus menggoyang daun-daun di ujung ranting pohon-pohon apel.

“Berapa umurmu, babi muda?” tanya Lukas.

“Umurku? Aku tidak tahu pasti. Mungkin tiga tahun.”

“Kau tampak gemuk dan sehat.”

“Kata babi-babi tua aku bongsor sejak lahir.”

“Kau sudah tahu kehidupanmu terdahulu?”

“Kehidupan terdahulu?”

“Ya. Kehidupan terdahulu. Kehidupanmu sebelum kau dilahirkan sebagai babi.”

Bulgo tidak mengerti maksud Lukas. Ia mendengus lewat lubang hidungnya yang besar dan lebar.

Baca Juga: Halaman Gelap Modernitas Jepang

“Dengarkan aku, babi muda. Akan kuceritakan padamu. Setelah kematian, setiap makhluk hidup dilahirkan kembali dalam bentuk yang berbeda, sesuai kebajikan semasa kehidupan terdahulu. Jika kau berbuat baik, kau akan dilahirkan kembali dalam keadaan mulia. Jika perilakumu buruk, kau akan dilahirkan kembali dalam kehinaan. Itu berlangsung terus menerus hingga kebajikanmu sempurna, lalu kau akan memperoleh keabadian.”

“Benarkah itu?” tanya  Bulgo.

“Sungguh.”

“Bagaimana kehidupanmu sebelum kau dilahirkan sebagai babi?”

“Begini. Dulu aku seorang manusia. Seorang prajurit yang gagah berani dan tidak memiliki ketakutan pada apa pun. Aku tak gentar pada kematian dan selalu berada di garis terdepan setiap pertempuran. Aku membunuh banyak musuh dalam medan perang. Suatu saat, ketika kesatuanku mabuk merayakan kemenangan, komandan menghina kemaluanku yang tak bisa lagi berdiri. Keteganganku dihabiskan di medan perang hingga lupa caranya menjadi jantan di atas ranjang, kata komandan saat itu sambil tertawa. Aku tersinggung dan kami berkelahi. Karena dia komandan, aku dipecat dari kesatuan dan sejak saat itu aku tidak tahu harus melakukan apa. Karena satu-satunya keahlian yang kumiliki ialah berkelahi, aku memutuskan untuk menjadi tukang pukul. Suatu kali aku melihat komandan sedang berjalan-jalan di wilayah kekuasaanku, dan tanpa berpikir panjang aku segera menghampiri dan menghajarnya. Ia menggelepar, memohon ampun atas hinaanya padaku di masa lalu. Aku tidak peduli. Aku mengiris kemaluannya, menyayat bibirnya, lantas mencongkel sebelah matanya untuk memuaskan dendamku sebelum kutikamkan belati yang mengakhiri hidupnya,” jelas Lukas.

Bulgo menelan ludah.

“Kau bersungguh-sungguh?” tanya  Bulgo.

“Aku tidak bohong,” jawab Lukas, sambil mengunyah apel yang jatuh di tanah.

“Bagaimana cara mengingat kehidupan sebelumnya?”

“Aku tidak tahu. Seiring waktu, suatu saat kau akan ingat sendiri.”

*

Cerita Lukas mengendap di pikiran  Bulgo. Dari hari ke hari ia berusaha mengingat kembali kehidupannya terdahulu. Namun bayangan tentang hal itu belum juga ditemukannya.

“Ibu, apakah makhluk hidup memiliki kehidupan terdahulu?” tanya  Bulgo suatu saat.

“Apa maksudmu? Ibu tidak mengerti.”

“Setiap makhluk hidup akan dilahirkan kembali setelah mati. Dalam bentuk yang berbeda. Sesuai kebajikan yang diperbuat pada kehidupan terdahulu.”

“Ibu tidak pernah mendengarnya.”

“Lukas berkata seperti itu.”

“Lukas? Oh, dia pembual yang ulung. Jangan percaya pada kata-katanya.”

Bulgo diam. Ia berpikir dengan otak babinya mengenai siapakah yang harus dipercaya, antara Lukas atau ibunya.

Di luar kandang babi, di rumah pemilik peternakan, sekerumun manusia tampak lalu lalang mempersiapkan sebuah hajatan. Sebuah foto terpajang besar-besar di tengah kerumunan.

“Ibu, apa yang sedang mereka lakukan?”

“Entahlah. Mungkin mereka akan mengadakan pesta.”

“Foto siapa itu?”

“Oh, orang itu pemilik peternakan babi ini. Namun ia mati beberapa tahun lalu. Dulu ia seorang petani yang bekerja amat keras. Ia membuka peternakan babi yang juga dikelolanya dengan gigih. Berawal dari beberapa ekor babi saja, kemudian berkembang menjadi ratusan hingga sekarang. Dari beternak babi, ia menjadi kaya raya. Kemudian ia memutuskan untuk menjadi seorang politikus, dan ternyata ia politikus yang hebat. Semenjak itu, ia semakin kaya raya.”

Ibu dan anak babi itu bergerak menuju kerumunan, mendekati foto politikus pemilik peternakan.  Bulgo mengamatinya dengan seksama. Di dalam foto, politikus itu tampak gemuk dan berwajah bulat. Tersenyum, dengan rupa kebayi-bayian.

Baca Juga: Yang Tertinggal dari Reruntuhan Kemanusiaan

“Bagaimana politikus itu mati?”

“Entahlah. Tidak ada yang tahu pasti. Tapi kata babi-babi tua, pekerjaan politikus memang berat. Politikus selalu membuat masalah. Mungkin saja ia mati karena masalah. Menurut babi-babi betina yang gemar bergunjing, ia memang sedang dihantam masalah besar-besaran yang bisa menghancurkan kehidupannya. Tapi, seperti yang kubilang tadi, ia politikus yang hebat. Ia selalu mampu berkelit dari semua masalah. Aku tidak tahu apa yang terjadi sesungguhnya. Yang jelas, ia datang ke rumah di suatu siang setelah sekian lama tak pernah pulang, lantas mati begitu saja pada malam harinya.”

Bulgo terngiang cerita Lukas tentang kehidupan terdahulu dan itu mengusik keingintahuannya kembali, tentang kehidupannya terdahulu, sebelum ia dilahirkan menjadi babi. Ia berusaha keras menggali memori, mencari lembar-lembar ingatan di seluruh jaringan otak babinya hingga ke sel-sel ingatan terkecil, namun tidak sedikitpun ia mendapat gambaran mengenai kehidupannya sebelum menjadi babi.

Ia menyerah. Usahanya berakhir sia-sia. Otak babinya tidak cukup bagus untuk mencari ingatan tentang kehidupan terdahulu. Ia mulai berpikir bahwa Lukas memang pembual yang cakap dalam mengarang cerita, seperti apa yang dikatakan ibunya.   

“Ayo kita tidur saja, ibu.”

*

Bulgo terbangun dengan keadaan kaki-kakinya yang terikat. Ia melempar pandangan ke sekeliling. Dilihatnya sepenggal kepala babi, dengan codet melintang di mata sebelah kiri, telah terpisah dari tubuh babi.

“Lukas!” pekik Bulgo. Tubuh babi pembual itu kini tercincang oleh pisau para tukang jagal. Dagingnya disajikan sebagai jamuan pesta peringatan kematian politikus pemilik kandang babi.

Seorang tukang jagal babi yang tampak bengis bergerak mendekati  Bulgo. Sebilah pisau tergenggam kuat di tangan si bengis. Ia telah memilih babi-babi jantan terbaik di peternakan sebagai hidangan utama pesta. Babi-babi yang gemuk dan terlihat menggairahkan.

 Bulgo melihat si bengis dengan nanar dan kecut. Ketakutan merembesi pikirannya. Ia babi muda yang gemuk dan menggairahkan dan belum ingin mati.

***

*Puri Bakthawar, Lahir di Salatiga, 7 November 1990. Sekarang sedang menempuh studi dan menjadi Mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya UGM. Mencintai buku-buku dan dunia cerita. Beliau dapat dihubungi melalui HP: 0813-2983-0905, Email: puribakthawar@gmail.com, Twitter: @puribakthawar