Instrospeksi untuk Mengembalikan yang Hilang dari Kita


TAHUN
2016 yang baru saja berlalu meninggalkan kita, masing-masing kita melipat rapat kalender itu dan menggantinya dengan kalender baru (2017). Sebelum benar-benar menutup 2016, mari kita coba mengingat kembali peristiwa-peristiwa yang dipertontonkan di negeri kita Indonesia tercinta. Hal ini bukan dimaksudkan untuk meratapi atau menyesali masa lalu. Setidaknya, ia menjadi tolok ukur untuk suatu langkah progresif di masa yang akan datang.

Melihat peristiwa yang berlalu lalang menyajikan kebencian dan perpecahan yang menimbulkan fragmen-fragmen dengan identitasnya masing-masing, bendera golongan berkibar lebih tinggi dari bendera negeri kita, lagu pergerakan masing-masing kelompok lebih nyaring diperdengarkan dari lagu kebangsaan kita.

Perbedaan paham di antara umat beragama sudah tidak lagi menjadi keragaman yang berpegang teguh pada “Bhinneka Tunggal Ika”, bahkan satu agama yang berbeda madzhab sudah bercerai berai saling mengkafirkan, caci maki lebih asyik diekspresikan, perbedaan bukan lagi dimaknai sebagai rahmat. Tidak salah kiranya jika disebut umat yang hobi eyel-eyelan.

Baru-baru ini, peristiwa penistaan agama menjadi trending topic, hingga sebagian umat beragama yang merasa dinistakan datang berjubel untuk menuntut keadilan. Lagi-lagi menimbulkan polemik baru. Yang tidak ikut datang disebut sebagai kelompok apatis (lemah iman), sedangkan yang datang menuntut keadilan disebut arogan (berlebihan), Al-Qu’ran dan Hadits tidak lagi dipelajari untuk diamalkan, malainkan sebatas dijadikan penguat dari pendapatnya dengan berbagai tafsiran sesuai kehendak.

Apa yang hilang dari kita?

Indonesia yang berlatar belakang dari kemajemukan suku, ras, dan agama sepertinya mulai kehilangan nilai-nilai yang dicita-citakan oleh para pendiri negeri ini. dekadensi moralitas masyarakat semakin tak terbendung, sederet sikap yang coba dihilangkan dari kehidupan masyarakat kian subur.

Salah satu tujuan pokok utama diutusnya Nabi Muhammad, yaitu untuk menyempurnakan akhlak manusia. Akhlak yang diajarkan oleh beliau tidak semata akhlak se-agama, melainkan kesemua manusia. Bahkan kepada binatang, kepada lingkungan, kita dianjurkan untuk berakhlak, dengan akhlak, manusia dapat menjalani hidup berdampingan, perbedaan dapat berjalan sinergis.

Dengan akhlak, kita dapat meredam sifat keakuan, rasa benar sendiri, ingin menang sendiri, ingin dianggap, narsistik, dangkal dalam berfikir, intoleran, dan tidak menghormati yang lain. Sehingga kedamaian dalam kehidupan masyarakat kita dapat diraih.

Memaknai akhlak dan damai sungguh sederhana, akan tetapi menebar akhlak dan damai tak lagi semewah impian, akhlak dan damai hanya diringkus dalam kata lalu di share ke grup WhatsAap, dijadikan status Facebook, berharap banyak yang like. Dengan demikian akhlak dan damai sudah jarang terekspresikan dalam kehidupan sehari-hari.

Pada lembaran 2017 ini, kita berharap menghidupkan kembali ekspresi akhlak dan menebar kedamaian dalam masyarakat kita, seperti halnya yang dilakukan tokoh pluralism (gusdur) yang banyak memberikan contoh bagaimana hidup dalam keragaman tapi tetap damai. Baginya, beragama itu yang bisa menimbulkan rasa aman bagi orang lain disekitarnya, beragama yang tidak menimbulkan rasa takut, bahkan menjadi energi yang menerangi bukan memerangi orang lain.

Selamat tahun baru 2017.

*Mu’min Abdani, lahir 1992 di Sumenep Jawa Timur. Mengenyam pendidikan MI, MTs, dan MA di Nurul Jali, Desa Pakamban Daya, Kecamatan Pragaan, Kabupaten Sumenep dan melanjutkan studinya ke Padepokan Tahfidzul Quran Ibnu Rusydi Jombang. Saat ini sedang mengikuti Beasiswa Pasca Tahfidz di Pusat Studi al-Quran (PSQ) Jakarta. Penulis pernah berkontribusi di NU Online cabang Jombang (2015). Telepon 0822-5754-3792